|
Sumber: @FIFAWorldCup | |
Hidup kita sering dipenuhi penyesalan
atas apa yang tidak bisa kita raih. Sekali waktu, hidup kita disesaki
penderitaan gara-gara sesuatu yang gagal kita raih.
Dalam
tulisan ringkas dan ringan itu, saya berkisah soal nasib Prancis,
Italia, dan Spanyol. Nasib buruk yang dialami ketiga jagoan Eropa itu
sewaktu-waktu juga dapat menimpa Jerman.
Ringkasnya begini.
Perancis, juara Piala Dunia 1998, pada Piala Dunia 2002 tidak lolos fase
grup. Italia, juara Piala Dunia 2006, pada Piala Dunia 2010 tidak lolos
fase grup. Terakhir Spanyol, juara Piala Dunia 2010, gugur di fase
penyisihan grup pada Piala Dunia 2014.
Tidak. Jangan mengira
saya ini juru ramal atau ahli nujum. Saya hanyalah seorang juru ramai,
bukan juru ramal. Meski kadang-kadang menjadi ahli mujur, namun belum
pernah didaulat selaku ahli nujum.
Ngeri pamali, nanti jadi duri.
|
Penyerang Jerman seolah tak percaya bahwa Jerman kalah (Foto: Alexander Hassenstein-FIFA/Getty Images) | |
Sekarang kita kembali pada nasib nahas "sang petahana" Jerman.
Sebenarnya
sejarah sering memajang cermin supaya kita dapat berguru pada masa
lalu. Hanya saja, kita acapkali lalai berkaca. Tidak heran karena
manusia memang diberkati watak lupa diri atau lupa daratan. Malahan,
lupa berguru pada masa lalu.
Ternyata taksiran saya
sedikit
bertuah. Jerman, sang petahana alias juara bertahan alias juara Piala
Dunia 2014, keok dua kali pada babak penyisihan Piala Dunia 2018.
Sesungguhnya
Jerman sudah diuji dengan kekalahan tatkala melawan Meksiko pada laga
pertama. Kekalahan tersebut mestinya digunakan sebagai "kaca bening"
buat menakar kelemahan. Kemudian, menukar kelemahan itu dengan
kekuatan.
Toni Kroos dkk. memang berhasil memperbaiki diri.
Hasilnya, mereka mengalahkan Swedia pada laga kedua. Sayangnya,
kemenangan atas Swedia membuat Jerman terlalu semringah. Dikiranya lawan
terakhir, Korea Selatan, bakal mudah ditekuk.
Padahal,
Pasukan Daebak
tengah terluka dan berduka lantaran kalah pada dua laga awal. Secara
psikologis, mereka yang terluka sering habis-habisan demi martabat diri.
Mereka yang berduka kerap mati-matian demi harkat diri.
Mengapa Jerman bisa sebegitu rapuh dan lemah? Memang kita tahu bahwa
Tim Panser masyhur sebagai tim yang lambat panas. Namun, kereta sudah laju. Sudah kasip.
Lantas, apa lagi yang hendak dipanaskan jikalau nasi sudah hangus?
|
Ketua Tim Sukses Petahana menutup muka karena malu (Foto: Lars Baron - FIFA/FIFA via Getty Images) | |
Loew, selaku
Ketua Tim Sukses Petahana Jerman,
gagal menyasar dan menyisir sengsara yang bakal menimpa. Akibatnya
fatal. Timnas Jerman gagal total pada laga pamungkas dan terpaksa gigit
jari. Setidaknya ada empat penyakit
kaum petahana, dalam hal ini timnas Jerman,
sewaktu kembali terjun ke medan laga.
Pertama, Jerman lupa diri. Inilah
kumannya. Jerman mengabaikan sejarah. Seyogianya, Jerman tidak perlu
jauh-jauh becermin pada kegagalan Prancis, Italia, atau Spanyol. Jerman
sendiri punya pengalaman pahit sebagai juara bertahan. Ingatlah nasib
Jerman pada Piala Eropa 1984 dan 2000.
Status Jerman pada Piala
Eropa 1984 ialah juara bertahan, tetapi kalah bersaing melawan Portugal
dan Spanyol di fase grup. Setelah menjuarai Piala Eropa 1996, Jerman
jadi pecundang empat tahun kemudian. Pada Piala Eropa 2000, Jerman
berakhir sebagai juru kunci grup. Tim Diesel tidak berdaya menyaingi
Portugal, Rumania, dan Inggris.
Lupa diri akan menggiring kita pada
gagal mawas diri,
Djarot salah satu contoh termutakhir. Gagal di Pilgub DKI Jakarta, lalu
terkapar lagi di Pilgub Sumut. Khofifah contoh terbaik dalam perkara
mawas diri. Dua kali kegagalan dijadikan cermin. Ia tekun dan telaten
belajar pada sejarah. Sekarang ia unggul di Pilgub Jatim.
Itulah cikal bakal kekalahan Jerman.
Lupa diri akan menggiring kita pada gagal mawas diri.
Kedua, Jerman terlalu jemawa.
Jangan kira sesuatu yang receh selalu remeh. Tarikan napas, misalnya.
Karena terbiasa dilakukan secara alamiah, kita pasti gelagapan setiap
sesak napas. Apalagi dalam selingkup mimpi buruk atau nyaris tenggelam
di kolam tak beriak.
Jerman menyangka Korsel cuma tim receh. Pasukan
Drama Korea itu
tidak perlu diwaspadai. Tidak akan menyakiti, tidak akan melukai.
Padahal, sekali lagi, Korsel sedang berusaha mengungkit dan mengangkat
harga diri.
Kita bisa mundur ke Piala Dunia 1966. Nasib juara
bertahan, Brasil, persis nasib Jerman tahun ini. Sekali menang, dua kali
kalah. Keduanya juga sama-sama mencetak empat gol dalam tiga
pertandingan. Bedanya pada gol yang bersarang di gawang mereka. Brasil
kemasukan 6 gol, sedangkan Jerman 7 gol.
Rasa jewama akan mengurung kita dalam
kerangkeng kurang waspada.
Tengoklah nasib Calon Tunggal di Pilkada Kota Makassar. Diusung 10
partai, diprediksi menang mudah, faktanya mengenaskan. Calon Tunggal
dipaksa warga Makassar mengakui keunggulan Kotak Kosong.
Itulah sebab-musabab keterpurukan Jerman.
Rasa jewama akan mengurung kita dalam kerangkeng kurang waspada.
|
Tim sorak Petahana Jerman tidak menduga akan menyaksikan nestapa (Foto: Catherine Ivill - FIFA/Getty Images) | |
Ketiga, karena Jerman lupa daratan. Tidak ada yang meragukan kapasitas
Tim Panser sebagai
Tim Spesialis Turnamen. Jerman
rangking I FIFA sebelum ke Rusia. Mereka juga didapuk sebagai unggulan
pertama. Betapa tidak, 10 laga kualifikasi disudahi dengan sepuluh
kemenangan. Sayang nasibnya
bapuk. Nahas. Sial.
Dan, ah, sudahlah.
Tidak
ada yang kurang. Jerman sudah mengoleksi 4 gelar juara, yakni pada
Piala Dunia 1954, 1974, 1990, dan 2014. Tim dari Eropa ini sekelas
dengan Italia, sama-sama punya lambang empat bintang di dada kiri kostum
timnas. Keduanya hanya kalah dari Brasil yang punya lima bintang.
Andaikan
tidak gagal di babak final, koleksi Jerman bisa-bisa 8 gelar juara. Tim
Panser maju ke babak final pada 1966, tetapi dikalahkan 2-4 oleh
Inggris. Pada Piala Dunia 1982, Jerman melenggang ke final lagi. Namun,
saat itu dihajar 1-3 oleh Italia.
Jerman kembali mencecap final
pada Piala Dunia 1986. Kala itu digebuk 2-3 oleh Argentina. Pada Piala
Dunia 2002, di Korsel-Jepang, Jerman tunduk 0-2 di babak final tatkala
melawan Brasil.
Lupa daratan selalu berpotensi membuat kita
lalai menemukan kelemahan dan kekurangan. Itulah yang ditunjukkan timnas
Jerman kepada kita. Reaksi berlebihan saat membekuk Swedia berbuah
karma. Kemenangan di menit-menit akhir langsung berbalas kekalahan di
ujung laga. Ini gila. Sungguh-sungguh gila.
Itulah asal-muasal kecongkakan Jerman.
Lupa daratan selalu berpotensi membuat kita lalai menemukan kelemahan dan kekurangan.
|
Mario Gomez, Juru Kampanye Petahana Jerman, merenungi kekalahan (Foto: Alexander Hassenstein – FIFA/Getty Images) | |
Keempat, Jerman terlalu percaya diri. Setelah
menang pada laga kedua, Jerman larut dalam pesta pora dan terlalu
bersenang-senang. Padahal pesan Bang Rhoma Irama sangat terang:
jangan terlalu.
Siapalah
Korsel di mata Jerman. Hanya liliput. Hanya kurcaci di kaki raksasa.
Prestasi terbaik pun sebatas juara ketiga di Piala Dunia 2002. Itu juga
di kandang sendiri.
Sedangkan Jerman, ah, sungguh jauh panggang
dari api. Gelar juara ketiga sudah langganan bagi Tim Panser. Empat
kali. Masing-masing pada Piala Dunia 1934, 1970, 2006, dan 2010. Sungguh
jauh bila dibanding-bandingkan dengan Korsel.
Akan tetapi, ada saatnya pejalan paling awas pun tersandung. Lalu terjengkang dan terjelepak.
Pada
Piala Dunia 1934 di Italia, Jerman membekuk Austria dengan skors 3-2
untuk meraih juara tiga. Jerman membekuk Meksiko 1-0 di Piala Dunia
1970, di Meksiko, pada perebutan tempat ketiga.
Semasa menjadi
tuan rumah pada Piala Dunia 2006, Jerman mengalahkan Portugal 3-1 dan
meraih juara ketiga. Terakhir pada Piala Dunia 2010, Jerman kembali
juara ketiga setelah mengalahkan Uruguay 3-2.
Terlalu percaya
diri sering mengantar kita pada keangkuhan dan kecongkakan, hingga
akhirnya berujung pada keterpurukan. Apa mau dikata, petahana dengan
segudang prestasi itu kini jadi pecundang. Seperti Deddy Mizwar yang
keok di Pilgub Jabar. Oh, maaf, ini sebatas tamsil. Pengibaratan saja.
Itulah sisik-melik keruntuhan petahana.
Ada saatnya pejalan paling awas pun tersandung. Lalu terjengkang dan terjelepak.
Pada akhirnya, kita memang perlu mengindahkan sejarah.
Gagap
sejarah kadang memicu gagal paham. Akibatnya bisa memacu gugup nalar
kita, sehingga kita keliru menatap dan menata masa depan.
Sang Petahana Jerman baru saja merasakan kegagalan mempertahankan posisi dan prestasi di
Pilkada Rusia. Barangkali
Neuer dan kolega sudah tiba di rumah, meneguk kopi, dan mereguk ludah
ketika menonton tim-tim lain berlaga di babak gugur.
|
Son merayakan gol (Foto: Michael Regan - FIFA/FIFA via Getty Images) | |
Selaku penikmat sepak bola, kita cukup di rumah
saja. Bisa juga ikut nobar di rumah tetangga atau di kedai kopi. Di mana
pun itu, kita nikmati saja. Yang penting, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda. Kita sudah menyaksikan tuah Korea Selatan, selaku wakil Asia, yang menjungkalkan tim petahana.
Tinggal menunggu kandidat Asia lainnya,
Samurai Biru, di laga terakhir. Semoga membanggakan Asia
Kandangrindu, 2018