Ketika membeli buku, entah itu lewat
internet, toko buku, tukang loak atau di pinggir jalan, belilah buku karena
memang Anda menyukai dan membutuhkan buku itu untuk dibaca.
SELALU ada yang intim dan dekat
ketika saya datang ke toko buku. Sebuah perasaan bahwa saya sedang berada di
rumah dan berada di antara keluarga. Klise memang. Tapi entah mengapa toko
buku, juga perpustakaan, selalu memberikan perasaan damai. Bahwa seharusnya
tempat-tempat semacam ini harus dibikin lebih banyak. Bahkan jika perlu
dibangun lebih banyak daripada rumah ibadah yang hanya ramai dan penuh seminggu
sekali itu.
Ketika saya masih kanak-kanak toko
buku adalah tempat rekreasi nomor tiga setelah pusat perbelanjaan dan rumah
makan. Ayah saya tak begitu suka mampir ke Gramedia karena alasan sederhana;
tempat parkirnya sempit dan gak ada foodcourt. Tapi bagi saya Gramedia, yang
dari rumah saya terletak lebih dari 50km jauhnya, bisa seperti bianglala. Ada
berbagai jenis komik, buku cerita dan ensiklopedia yang terlihat wah. Kala itu
alih-alih membelikan ensiklopedia bergambar disney yang dijual paketan, ayah
memberikan saya Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) sebagai
gantinya. Sedih.
Beranjak dewasa toko buku selalu
menjadi wahana eskapis paling menyenangkan. Sering di awal-awal saya kuliah
berdiam diri di Togamas atau Gramedia sembari membaca buku dilakukan
berjam-jam. Sehingga Mas Trik, supervisor Togamas Jember, kenal baik dengan
saya. Sering ia memberikan keleluasaan saya untuk membuka buku segel dan
mendapatkan diskon tambahan jika membeli buku. Kadang saya berpikir sebuah toko
buku akan lebih sukses dan besar jika mereka memperlakukan para pelanggan
selayaknya keluarga.
Dibanding Gramedia saya jelas
memilih Togamas toko buku diskon yang murah dan lebih manusiawi. Belakangan
saya beralih membeli buku di toko buku online karena mencari buku-buku klasik
yang sudah susah dicari di toko buku biasa. Beberapa toko buku maya tersebut
memasang harga yang lumayan tinggi untuk beberapa judul buku. Awalnya saya kira
wajar karena buku tersebut memang susah dicari dan susah untuk didapatkan.
Namun belakangan hal ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa penjual tega
menawarkan barang dengan harga tinggi kepada pembaca awam untuk mencari laba
setinggi-tingginya.
Memang dalam bisnis merupakan hal
yang sangat wajar dari seorang penjual untuk menawarkan barang untuk meraih
laba setinggi-tingginya. Juga sangat wajar dan dibenarkan jika penjual
memberikan harga tinggi karena sebuah benda langka atau memang susah
didapatkan. Selaiknya teori suply and demand, ketika keberadaan bahan
berbanding terbalik dengan kebutuhan maka harga meningkat. Siapapun tahu hal
ini. namun sangat disayangkan apabila penjual buku yang notabene juga penikmat
buku menjual sumber pengetahuan ini dengan harga mencekik hanya untuk uang
semata.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat
berbincang dengan seorang penjual buku di twitter yang menawarkan harga buku
sangat tinggi. Ia menjual Seri Tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta
Toer terbitan Hasta Mitra dengan bandrol Rp 250.000. Dalam perbincangan saya
ketahui jika buku tersebut bukanlah cetakan pertama, malah beberapa bagian buku
sedikit rusak dan ada stempel kepemilikan. Lantas saya bertanya jika kondisinya
demikian mengapa dijual mahal? Ia menjawab dengan santai bahwa buku ini langka
dan banyak yang cari. Sesederhana itukah?
Ketika membeli sebuah buku, hal
pertama yang saya utamakan adalah isi dan kualitas dari buku tersebut. Bukan
hanya buku tersebut bukan tentang kualitas fisik, tapi lebih kepada apakah
cerita atau konten buku tersebut menarik dan penting? Sejak lama saya
menyenangi buku-buku sastra, terutama buku puisi. Jadi ketika ada buku puisi
yang menarik, semahal apapun buku tersebut akan saya bayar. Namun tentu dengan
akal sehat, karena akan jadi sia-sia bukan jika buku dibeli namun membuat kita
ketar-ketir bingung mau makan apa besok?
Dalam membeli buku ada baiknya kita
bijak. Awali dengan pertanyaan sederhana “Mengapa kita perlu membeli sebuah
buku?”. Pertanyaan itu akan mencegah kita berbuat impulsif dan membeli buku
yang tak penting. Saya tahu ini karena sebagai pembeli buku impulsif saya sudah
banyak mengeluarkan uang untuk buku. Buku yang terbeli akhirnya teronggok dan
tak terbaca karena isi tak seusai dengan harapan. Percuma membeli buku jika toh
pada akhirnya buku itu tidak terbaca bukan?
Dalam membeli sebuah buku biasanya
saya sesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya apabila buku itu berseri maka membeli
kelanjutan buku tersebut bisa menjadi prioritas dan dibenarkan. Seperti seri Ali
Topan Anak Jalanan dari Teguh Ehsa. Atau buku tersebut adalah sebuah buku
yang lahir dari polemik dan muncul buku lain yang menjawab polemik tersebut.
Seperti buku Prahara Budaya dan Lekra Tak Membakar buku. Atau
bisa juga buku tersebut kita beli sebagai bahan penelitian, riset, dan tugas
kuliah/kerja. Ada unsur pragmatis untuk alasan ini namun bisa dibenarkan.
Adapula alasan lain seperti iseng
karena ingin membaca sesuatu yang beda dan segar. Sebagai pembaca karya sastra,
meski tidak serius, saya kadang mencoba membaca buku-buku bergenre komedi atau
catatan perjalanan. Buku semacam bisa jadi penawar kejenuhan karena pusing
dicekoki kata-kata puisi yang multitafsir. Tetapi membeli buku tanpa alasanpun
tidak masalah. Pertama karena itu uang anda sendiri dan yang kedua tak ada
salahnya membeli buku daripada membeli tiket konser yang seringkali tak
penting.
Setelah mampu menjawab mengapa kita
perlu membeli buku ada baiknya disesuaikan dengan kemampuan anda membeli. Toh
tak melulu nafsu untuk memiliki buku perlu dipuaskan. Menahan diri untuk
memenuhu kebutuhan primer seperti sandang-pangan juga penting. Jika sebuah
harga buku kelewat mahal dan tak masuk akal ada baiknya menahan diri. Jangan
terburu nafsu impulsif membeli tanpa melakukan perbandingan harga di toko lain.
Bagi saya pribadi jika sebuah buku ada di Togamas atau Social Agency (Jogja)
saya tak akan membeli buku tersebut di Gramedia.
Hal yang sama perlu anda terapkan
juga di toko buku online. Beberapa pedagang buku menjual buku dengan semaunya
dan tak masuk akal. Pernah saya temui buku Penembak Misterius karya Seno
Gumira Ajidarma terbitan Grasindo dijual seharga Rp 90.000 padahal jika ada
pameran kita bisa memilikinya dengan harga tak lebih dari Rp. 5.000 saja.
Beberapa penjual buku online bisa sangat curang pada pembeli awam yang kepepet
dan terburu nafsu untuk memiliki.
Apakah salah mencari laba tinggi?
Tidak. Namun bagi saya kurang etis menjual sesuatu dengan memanfaatkan
ketidaktahuan konsumen dan mencari laba segila-gilanya. Belum lagi pedagang
buku yang ogah memberikan alasan dan penjelasan mengapa sebuah buku menjadi
mahal. Alasan klise semacam banyak orang yang cari dan stok sedikit bagi saya
tak cukup. Penjual buku harus bisa memberikan penjelasan etis sebagai sebuah
tanggung jawab mengapa buku tersebut mahal.
Misalnya mengapa buku Pram yang
berjudul Gulat di Jakarta cetakan Indonesia tahun 1953 berharga mahal?
Dan bukankah cetakan Malaysia tahun 1995 berharga mahal? Karena buku tersebut
dicetak sangat terbatas dan mungkin hanya terselamatkan sebanyak 1.000
eksemplar. Jadi buku tersebut memang susah dan sangat sulit dicari. Berbeda
dengan cetakan Hasta Mitra yang dicetak sangat masif paska jatuhnya Soeharto.
Hampir setiap minggu buku itu ada dan terjual dalam kisaran Rp 80.000-100.000.
Nah jika ada yang menjual dengan harga Rp 250.000 kita patut curiga dan
bertanya.
Beberapa kawan dengan nada
berseloroh mencibir kritik saya terhadap penjual buku online. “Kamu sama
pedagang kecil kritik kencang sekali. Beli buku di Gramed harganya ratusan ribu
diam saja,” kawan saya tersebut benar. Tapi ada perbedaan besar antara Gramedia
sebagai toko buku brengsek yang juga membakar bukunya sendiri dengan pedagang
buku kecil yang licik mencari laba besar dari ketidaktahuan konsumen.
Ketika ke Gramedia orang sudah
memiliki kesadaran bahwa toko itu tak pernah menjual buku murah selain ketika
ada acara diskon. Sedangkan kepada pedagang buku online atau lapak pinggir
jalan kita berharap mendapatkan buku yang relatif lebih murah dari toko besar.
Memang ada sebuah realitas yang perih di sini. Saat saya ke Gramedia tentu tak
akan melakukan transaksi tawar menawar. Sedangkan pada pedagang buku bekas saya
akan menawar semurah mungkin. Terlihat sangat munafik memang. Tapi yang jelas
saya jarang menawar jika buku tersebut harganya masuk akal dan si penjual bisa
dengan jelas memberikan alasan mengapa buku tersebut mahal.
Buku online seperti juga penjual
buku di lapak-lapak jalanan tentu tahu bahwa buku bekas bisa didapat dengan
murah di loakan. Dari harga beli dan harga jual si pedagang pasti sudah
mempertimbangkan margin laba yang diinginkan. Ini yang membuat saya sangat
kesal apabila sebuah buku yang notabene bisa didapatkan dengan mudah dan banyak
jumlahnya dijual dengan harga mahal. Seringkali saya ingin membubuhkan komentar
di lapak online mereka bahwa di toko anu jauh lebih murah. Atau cari saja di
toko ini karena lebih terjangkau. Tapi hal ini tentu salah dan bisa mematikan
sumber pencaharian orang.
Sayangnya belakangan makin banyak
toko buku online yang keblinger dan menjual buku seenak jidatnya. Beberapa
waktu lalu ada seseorang yang menjual buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I
dan II karangan Sukarno dengan harga Rp 9.000.000. Sebuah harga yang gila
untuk buku yang dengan uang Rp 300.000 Anda sebenarnya bisa memilikinya. Si
penjual buku DBR ini malah bangga karena bisa menjual dengan harga mahal
padahal dibeli dengan harga murah. Ada yang salah di sini. Seseorang yang
mengetahui nilai pengetahuan buku lantas melacurkan benda tersebut, bagi saya
tak lebih baik daripada penjagal Nazi.
Adapula penjual buku yang tak jujur
menjelaskan kondisi buku. Apakah buku tersebut rusak dimakan rayap, terkena
air, noda tinta, coretan atau bahkan hilang halaman. Beberapa penjual juga
tidak jelas mengatakan jika buku yang dijualnya itu adalah buku hasil
fotokopian. Hal ini yang membuat transaksi jual beli buku secara online
beresiko. Ada baiknya sebagai pembeli pemula anda bertanya kepada rekan yang
sudah sering melakukan transaksi atau bisa membeli buku dengan jumlah kecil.
Dari situ Anda bisa menilai apakah
toko tersebut jujur, terpercaya dan pelayanannya memuaskan. Karena adapula
penjual yang sangat ribet dalam melakukan transaksi karena mewajibkan
pencantuman bukti transfer. Sementara penjual yang lain bisa dengan mudah
mengirimkan barang dengan konfirmasi pengiriman saja. Namun hal ini jangan
disalahgunakan untuk melakukan pembelian buku dengan menipu. Mengaku sudah
membeli namun tak mengirimkan uang. Ini adalah tindakan kriminal dan tentu saja
akan membuat penjual buku tersebut merugi.
Namun ada juga toko buku yang dengan
seenaknya mengirimkan buku pesanan kita tanpa melakukan konfirmasi transaksi
sebelumnya. Sudah jamak di antara penjual dan pembeli langganan untuk menyimpan
pesanan sampai satu nilai tertentu sebelum akhirnya membayar. Namun jika barang
dikirimkan dulu lantas penjual menagih bagi saya itu seperti pemaksaan untuk
membeli. Tak salah memang namun memberikan ruang bagi pembeli untuk memilih
juga bukan kejahatan. Pedagang semacam ini berpotensi ditipu oleh pembeli yang
nakal. Selain itu si penjual berpotensi dianggap memaksa membeli oleh
pelanggan.
Lantas mengapa sebuah buku bisa
berharga sangat mahal? Hal ini bisa diaplikasikan pada segala jenis benda
koleksi seperti action figure, komik, vinyl, kaset dan mainan. Sebuah
benda menjadi mahal karena punya nilai sejarah penting, bisa pula karena ada
ikatan emosional kepada si kolektor. Tapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan
panduan bagi pembaca atau kolektor buku pemula untuk bisa menilai sebuah barang
menjadi mahal atau murah. Hal ini saya tuliskan hanya sebagai pegangan saja
agar anda sekalian bisa bijak memilih dan membili dan tidak terburu nafsu
membeli sebuah barang mahal hanya karena keinginan sesaat.
Pertama, ketika Anda ingin memulai
koleksi buku, mulailah dengan buku-buku yang Anda sukai. Karena seorang
kolektor buku dan pembaca biasa dapat dibedakan berdasarkan buku yang ia beli.
Bisa jadi buku yang terorganisir berdasarkan genre tertentu seperti karya
sastra, buku cerita bergambar, buku cerita anak-anak atau bisa juga buku
tentang misteri. Jangan ikut-ikutan membeli buku hanya karena cerita atau
rekomendasi orang tanpa memiliki dasar. Jangan karena buku tersebut dianggap
langka dan penting Anda ikut-ikutan. Selain boros belum tentu buku tersebut
sesuai dengan minat Anda. Bisa-bisa setelah membeli kecewa dan pada akhirnya
buku itu teronggok tak terbaca.
Kedua, syarat terpenting dalam
mengkoleksi buku jadul atau langka adalah kondisi. Seingin apapun anda jika
buku itu terlanjur rusak, tidak sempurna maka lebih baik Anda urungkan. Kecuali
Anda membeli hanya untuk membaca isinya. Sulitnya membeli buku secara online
adalah kita tak bisa melihat kondisi buku tersebut dan hanya bisa percaya pada
omongan si penjual. Jika ini terjadi ada baiknya anda membeli buku hanya kepada
penjual yang terpercaya dan memiliki reputasi bagus. Selain itu perlu diketahui
kondisi buku mempengaruhi harga jual.
Robert F. Lucas, seorang kolektor
juga penjual dan penyusun panduan mengkoleksi buku, mengatakan tiga hal paling
penting dalam membeli buku antik. Kondisi, kondisi dan kondisi. Meski buku
tersebut cetakan pertama dan bertanda tangan pengarangnya, namun jika dalam
keadaan rusak akan merendahkan harga jual. Jangan mau termakan promosi dan
perhatikan kualitas. Perhatikan kisi-kisi buku, kondisi sampul, jika itu hard
cover apakah ada selimutnya? Jika itu edisi kolektor apakah ada kotaknya? Hal
demikian akan mempengaruhi harga jualnya.
Ketiga, hal yang membuat sebuah buku
mahal adalah kelangkaan dan umur buku tersebut. Sebuah buku jika telah lolos
dalam seleksi kondisi, artinya kondisinya bagus, perlu dilihat apakah ia
cetakan pertama atau bukan? Berapa umurnya? Dengan memahami nilai ini anda bisa
menjawab mengapa Injil Gutenberg cetakan pertama tahun 1456 bisa terjual lebih
dari 25 juta dolar. Tentu karena buku tersebut hanya tercetak beberapa ribu
saja di dunia. Selain itu Gutenberg adalah salah satu pioner yang melahirkan
mesin cetak dan merevolusi peradaban manusia. Tak hanya mencetak Injil yang
menjadi sumber wahyu umat kristen namun ia juga merubah pola pikir dunia lama
yang membiarkan injil hanya dimiliki oleh kaum agamawan saja. Kelangkaan, umur
dan revolusi peradaban membuat nilai historis buku ini menjadi tak ternilai.
Keempat, nilai personal sebuah jenis
buku. Buku tentang sastra meski itu cetakan pertama dan bertanda tangan bisa
jadi tak bernilai apapun bagi kolektor buku misteri dan detektif. Bagi
masing-masing kolektor jenis buku tertentu memiliki nilai lebih dari buku yang
lain. Inilah yang membedakan seorang kolektor buku profesional dan amatir.
Biasanya seorang kolektor buku profesional mengkoleksi buku dengan kategori
tertentu. Mengapa? Sederhana saja. Too many books too little time. Fokus
pada satu jenis buku membantu kita berhemat dan memudahkan dalam perburuan.
Jadi jangan kaget jika sebuah buku oleh satu penjual dijual sangat murah
sementara oleh penjual lain dijual sangat mahal.
Kelima, relasi pembaca dan penulis.
Irene Harisson, kurator dan pustakawan perpustakaan Andre Norton, mengatakan
sebuah buku menjadi penting karena pengarangnya. Apa yang membedakan buku
Hoakiau di Indonesia cetakan pertama dan cetakan selanjutnya berbeda? Selain
penjelasan saya di atas, adapula penjelasan pengaruh terhadap pengetahuan
pembacanya. Seorang Pramis, penggemar Pram, akan tahu bahwa cetakan pertama
yang berwarna merah itu dikeluarkan saat Sukarno berkuasa dan menyebabkan ia
dipenjara. Nilai sejarah dan sentimentil buku ini, apalagi jika ditambah dengan
tanda tangan penulisnya, akan melambungkan buku ini. Apabila harga standar buku
ini biasanya berkisar Rp 75.000-100.000. Dengan cetakan pertama bertanda tangan
mampu melambungkan harga buku ini dalam kisaran Rp 2-3 juta.
Namun apakah kita akan terjebak pada
nilai sentimentil sebuah buku? Bagi saya pribadi fungsi utama sebuah buku
adalah dibaca. Meski tak menganggap diri seorang kolektor namun saya
mengumpulkan berbagai buku tentang puisi. Khususnya karangan Abdul Hadi WM dan
Soebagio Sastrowardojo. Bagi saya karya mereka memiliki nilai penting dan
personal. Saya tak peduli apakah itu cetakan pertama atau cetakan seratus
karena yang penting adalah puisi yang ada di dalamnya. Jadi ketika ada yang
menjual buku itu dengan mahal saya lebih memilih menahan diri karena yang
terpenting adalah isi di dalamnya.
Sebagai perbandingan dalam artikel
lama saya tentang menulis. Saya menuliskan pemikiran Jeffrey Brenzel, dekan
sekaligus dosen di Jurusan Filsafat Universitas Yale, tentang lima kriteria
sebuah karya tulisan menjadi klasik dan penting. Yaitu: 1. Berurusan dengan
kemaslahatan umat manusia, 2. Merubah paradigma umum yang telah pakem selama
ini, 3. Mempengaruhi karya lain yang juga lebih hebat, 4. Dihormati oleh
berbagai kalangan sebagai karya yang luar biasa, 5. Menantang untuk bisa
dipahami tapi sangat setimpal dengan kerja keras yang dikeluarkan.
Jadi pastikan ketika membeli buku,
entah itu lewat internet, toko buku, tukang loak atau di pinggir jalan, belilah
buku karena memang Anda menyukai dan membutuhkan buku itu untuk dibaca. Jika
buku itu layak dikoleksi anggaplah itu sebagai bonus. Juga saya berharap kepada
penjual buku agar lebih manusiawi memberikan harga. Tentu saya tak ingin
mengganggu anda dalam mencari penghidupan. Tapi akan lebih etis menjual ilmu
pengetahuan dengan harga yang fair. Karena kita bukan babi yang hidup hanya
untuk memamah bukan?
No comments:
Post a Comment