Tony Gunawan dan Candra Wijaya saat juara All England 1999 untuk Indonesia. (Getty Images/Graham Cha |
Dia akan bertanding untuk cabang bulutangkis ganda putra, sekaligus hadir sebagai pelatih untuk Rena Wang, tunggal putri Amerika. "Ini sungguh kejutan bagi saya," tutur atlet berusia 37 tahun itu, kepada Pasadenanews. "Sudah 12 tahun lalu (saat dia mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade Sydney). Saya akan berangkat."
Tony yang sudah pindah ke Amerika secara permanen sejak 2002 itu, mulanya hanya bersekolah. Kemudian melatih, sampai akhirnya ikut menjadi pemain yang mewakili negara tersebut. Bersama Tony, ada Halim Haryanto Ho yang awalnya sama-sama melatih di Orange County, California, Amerika Serikat. Saat masih berpasangan dengan Tony dan membela Tim Merah Putih, atlet kelahiran 1976 ini menjadi juara dunia ganda putra (2001) dan juara All England (2001).
Begitu juga dengan Mia Audina, atlet bulutangkis Indonesia. Semula dia diharapkan bisa menjadi pengganti Susi Susanti, atlet bulutangkis andalan Indonesia pemegang medali emas Olimpiade Barcelona pada 1992. Apa boleh buat, Mia diboyong suaminya ke Belanda. Paspor peraih medali perak pada Olimpiade Atlanta 1996 itu pun berubah, dari Indonesia ke Belanda.
Lalu ada Albertus Susanto Njoto yang memilih menjadi warga negara Hong Kong lantaran merasakan ketatnya persaingan di Pelatnas Indonesia. Satu-satunya prestasi menonjol saat masih dalam tim Indonesia adalah juara Filipina Terbuka 2006 untuk ganda putra, berpasangan dengan Yohan Hadikusuma. Setelah itu, dia mewakili Hong Kong sebagai negara barunya dalam beberapa kejuaraan internasional.
Menanggapi kepergian para atlet Indonesia untuk menjadi warga negara lain, Icuk Sugiarto, juara dunia bulu tangkis pada 1983 dan 1986 menegaskan atlet yang mempunyai nasionalisme tinggi tidak akan membela selain negaranya sendiri. Kendati pun, belum mendapatkan dukungan atau fasilitas yang memadai dari negaranya sendiri.
“Mia dan Tony pernah menjadi pemain top untuk Indonesia. Saya rasa tidak jadi masalah, karena di Indonesia sendiri saat itu Mia sudah tidak terpakai. Sedangkan Tony kuliah,” jelas Icuk.
Pernyataan senada juga diungkapkan jebolan PB Djarum yang mempunyai julukan Smash 100 Watt, Hariyanto Arbi. Tapi setahu dia, Tony Gunawan tidak pindah warga negara pada saat itu, melainkan sedang melanjutkan studinya di Amerika, yang kemudian mendapatkan tawaran bermain di sebuah klub bulu tangkis di sana.
Sebagai kompensasi dari menerima tawaran itu, katanya, “dengan catatan membiayai dan memfasilitasi kebutuhannya.” Hariyanto sendiri setelah pensiun, menggeluti bisnis peralatan olahraga bulu tangkis Flypower.
Kendati demikian, Hariyanto memperingatkan pemerintah agar lebih peduli memberi dukungan guna meminimkan hengkangnya bakat-bakat berkualitas Indonesia ke negeri lain. “Negara lain memberikan jaminan seumur hidup kepada atletnya. Memberikan asuransi ketika sudah tidak menjadi atlet,” ujar Hariyanto.
Sementara di Indonesia, lanjutnya, jika sudah bukan atlet lagi tidak mendapatkan apa-apa. “Di Malaysia tiap bulan para atlet mendapatkan gaji, jaminan dan asuransi,” tambahnya.
Sedangkan Icuk yang kini menjadi staf ahli Menteri Pemuda dan Olah Raga, menginginkan agar Indonesia fokus memberikan dukungan kepada atlet maupun cabang olah raga di Indonesia. Kata dia, tidak ada alasan untuk tidak mengucurkan bantuan.
Alasannya, anggaran dari negara dalam 10 tahun terakhir, lebih dari cukup. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah bersikap adil kepada cabang olah raga prestasi seperti bulutangkis, catur, taekwondo dan angkat besi.
“Sangat tidak adil dan tidak ada kesinambungan jika kami turun peringkat di kelas dunia mendapatkan cemoohan, sedangkan cabang olah raga lain yang hanya mampu bersaing di tingkat Asia lebih mendapatkan perhatian,” sesal Icuk.
No comments:
Post a Comment