Buku ini tidak hanya mengisahkan proses penyelamatan, tetapi juga mengajak agar semua kita yang ingin turut menyelamatkan warisan budaya visual Indonesia ini bekerjasama bahu membahu menjaga warisan budaya visual kita.
RESTORASI. Seketika kata itu menjadi
magis di dunia film Indonesia. Tidak sedikit yang bertanya apa artinya, tetapi
kurang lebihnya disimpulkan sebagai ‘upaya penyelamatan’. Sebetulnya, restorasi
sendiri bermakna mengembalikan ke kondisi semula, tetapi semua kita tahu
film-film tua bermasalah banyak karena “vinegar syndrome”.
Ini persoalan yang tak muncul saat
terjadi pergantian bahan film dari bahan film nitrat yang mudah sekali terbakar
yang kemudian pada tahun 1948 digantikan dengan cellulose acetate film atau
yang biasa disebut ‘film aman’. Tapi ternyata terminologi “aman” itu sendiri
akhirnya disangsikan semenjak film-film yang menggunakan materi ini kemudian
disimpan di tempat yang panas, lembab, akibatnya malah rusak parah. Laporan ini
muncul pertama kali dari Pemerintah India, lalu kemudian studi digelar oleh
laboratorium Kodak pada tahun 1960-an. Intinya, materi film ini kelak akan
“membusuk” dan seperti bom waktu akan menghancurkan film itu sendiri.
Inilah yang dilawan dengan upaya
restorasi. Film-film klasik Indonesia, yang dibuat lampau, rentan terhadap
“vinegar syndrome” ini dan karenanya sebuah upaya penyelamatan serius sebaiknya
segera dilakukan. Yang pernah menonton film “Lewat Djam Malam” sebelum
direstorasi pastilah ingat bagaimana film tersebut sudah buram, goyang, penuh
goresan dan suaranya buruk. Tetapi setelah direstorasi, gambarnya menjadi
demikian mulus, suara pun jernih, meski tidak 100% tanpa cacat.
Buku berjudul “Lewat Djam Malam
Diselamatkan” ini berisi upaya penyelamatan film terbaik karya Usmar Ismail
yang berjudul “Lewat Djam Malam” atas kerja banyak orang (non-pemerintah).
Seperti halnya film ini, yang produksi swasta, akhirnya orang-orang
non-pemerintah yang menyelamatkannya juga. Film “Lewat Djam Malam” ini dibuat
pada tahun 1954, produksi bersama dua perusahaan film swasta pribumi, Perfini
yang diketuai oleh Usmar Ismail dan Persari yang diketuai oleh Djamaluddin
Malik.
“Lewat Djam Malam Diselamatkan”, Sahabat Sinematek, Juni 2012 |
Buku ini terdiri dari 3 bagian,
setiap bagian berisi esai-esai dan catatan yang dengan jernih menceritakan
bagaimana terpilihnya film ini untuk direstorasi, proses kerja restorasi itu
sendiri, juga mengenai sutradara Usmar Ismail, dan terakhir mengenai Sinematek
Indonesia yang sekarang ini menaungi film-film Indonesia.
Terkait dengan “vinegar syndrome”
tadi, ternyata film “Lewat Djam Malam” masih bisa selamat karena penyimpanan di
Sinematek masih tersimpan di suhu yang baik dan jumlah reel lengkap.
Permasalahannya hanya penanganan yang salah selama bertahun-tahun menyebabkan
kondisi film menjadi memprihatinkan: gulungan pita seluloid melengkung dan
menciut, ada bagian seluloid yang robek dan retak.
Tentang proses restorasi dijelaskan
dengan cukup sederhana oleh Davide Pozzi. Ia menjelaskan bagaimana L’Immagine
Ritrovata di Italia sebagai laboratorium restorasi yang dipilih untuk melakukan
restorasi “Lewat Djam Malam” melakukan tahap-tahap restorasi ini hingga pada
akhirnya dihasilkan seluloid 35 mm yang baru dan paket format kamera digital.
Davide Pozzi menyebut proyek ini sebagai proyek ambisius, salah satunya karena
ia melihat nilai penting film ini bagi sinema nasional Indonesia. Buku ini
kemudian memuat foto-foto sebelum dan sesudah restorasi.
Sebelum dan Sesudah Restorasi |
Artikel dari Lisabona Rahman cukup
membuat semua kita yang membacanya terhenyak. Judulnya sendiri cukup menancap:
“Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?” Ternyata meskipun hanya
menyimpan 14% seluruh sejarah sinema Indonesia, Sinematek Indonesia menyimpan
paling tidak 5 film anak bangsa yang masuk kategori ” Memory of The World:
national cinematic heritage”. Itu berarti Sinematek Indonesia bertugas memangku
ingatan bangsa yang demikian penting dalam pita-pita seluloid. Namun demikian
pentingnya keberadaan Sinematek Indonesia tidak terlalu dianggap penting banyak
orang, itulah sebabnya artikel ini mencoba memperlihatkan dan sekaligus menegur
apakah generasi muda hanya pantas menonton film-film rusak yang berisi ingatan
bangsa itu?
Buku ini sendiri tidak menutup kisah
pada sebuah sukses, tetapi menutupnya dengan sebuah tawaran, sebuah ajakan
berskala luas, agar semua kita yang ingin turut menyelamatkan warisan budaya
visual Indonesia ini bekerjasama bahu membahu menjadi sahabat-sahabat baru bagi
Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia perlu didampingi Sahabat Sinematek,
yang akan berjalan beriringan memperbaiki sistem dan terutama menyelamatkan
satu persatu ingatan bangsa ini, seluloid demi seluloid agar kita tetap
memiliki sejarah lengkap perjalanan bangsa ini yang memang tidak mudah.
No comments:
Post a Comment