RA Kosasih melalui komiknya
membuktikan pencapaian identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan
keberagaman identitas ke dalam dirinya.
Komik Ramayana |
RA Kosasih, yang meninggal dengan
tenang di Rempoa, Tangerang, pada Selasa tanggal 24 Juli 2012 pukul 01.00 dini
hari, adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan suatu generasi di
kota-kota besar Indonesia, tepatnya antara tahun 1950 dan 1970-an, dalam
konteks berkembangnya komik sebagai industri hiburan baru.
Dalam hal Kosasih, disebutkan
pembacanya beruntung karena sembari terhibur oleh alur cerita memikat, dengan
gambar-gambar yang kini monumental dalam memori-kolektif, ekspresi kemanusiaan
seperti Ramayana dan Mahabharata dapat diterima tanpa berkerut kening, tanpa
harus kehilangan taraf pencapaian wacananya sama sekali.
Prestasi adaptasi
Dalam komik wayang RA Kosasih, bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih misalnya, dapat segera dirasakan kanak-kanak mana pun yang akan terharu oleh tangis Wibisana, setiap kali saudara-saudara raksasanya gugur, karena pengungkapan titik lemah kesaktian mereka oleh dirinya sendiri; maupun keputusan Karna untuk berperang di pihak Kurawa melawan permintaan Dewi Kunti, ibunya, menghadapi adik-adik kandungnya.
Langkah kebijakan yang dapat menjadi
rumit bisa dipahami kanak-kanak yang berkesempatan menilai sendiri pertarungan
antara kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Widura, antara kelicinan Kresna dan
kejujuran Yudhistira yang membawa malapetaka, ataupun antara kepahlawanan
Gatotkaca dan Bhisma, pada dua pihak yang bertentangan, ketika tetap maju
menghadapi kematian sebagai bentuk pengabdian.
Dilema kesetiaan Drupadi yang
sebetulnya hanya mencintai Arjuna, masalah jender Sihkandi yang bertukar
kelamin dengan raksasa, pembutaan diri Gandari atas realitas, tragedi
keberanian Pandu yang mati di pangkuan Madrim, konsep the Self Bima yang tidak
pernah menyembah; bahkan saat harus mengungkapkan gagasan filosofis
Bhagavad-Gita dalam satu jilid khusus, yakni ujaran Kresna ketika Arjuna ragu
berperang menghadapi keluarga sendiri, berhasil disampaikan Kosasih secara
jernih dan ringan sebagai komik.
Dengan kata lain, Kosasih telah
melakukan adaptasi dengan sangat berhasil. Masalahnya, dengan pengertian
adaptasi itu, di sebelah manakah kesahihan identitas ”komik Indonesia” yang
selalu dilekatkan sebagai jasa kepeloporan Kosasih? Perhatikan dua fakta
berikut.
Pertama, komik itu sendiri tidak
dikenal Kosasih sebagai ”sesuatu yang Indonesia”. Ketika bekerja sebagai juru
gambar Instituut voor Planten ziekten di Bogor, ia melihat dan lantas
mempelajarinya dari baris komik (comic strip) asing, seperti serial Flash
Gordon, Tarzan, maupun adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly,
Jakarta, yang membeli hak ciptanya dari King Features Syndicate, Amerika
Serikat. Itu terjadi tahun 1953.
Kedua, komik Ramayana (1955) dan
Mahabharata (1957-1959) tidak memainkan peran panakawan, tokoh-tokoh lokal,
karena Kosasih sengaja dan memang berniat mengacu pada cerita yang bersumber
dari India, yang disebutnya ”tidak pakai fantasi atau tambahan”, seperti
tertera dalam halaman pertama komik Mahabharata. Padahal, terbitnya komik
wayang sebetulnya adalah reaksi terhadap tuduhan bahwa komik ”tidak
berkepribadian nasional”, seperti dilaporkan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik
Wayang, Siapa Tak Sayang?” (Kompas, 1980).
Indonesia sebagai proses
Dengan hegemoni kebudayaan Amerika Serikat dalam media komiknya, dan kebudayaan India dalam sumber naratifnya, meski acuan Kosasih dalam hal Mahabharata adalah buku Mahabarata tulisan M Saleh (Balai Pustaka, 1949), bagaimanakah caranya komik Kosasih menjadi Indonesia?
Pertama, bahasanya jelas berbahasa
Indonesia, dalam pengertian sebagai bahasa yang sedang berjuang membentuk
dirinya, ketika wacana wayang hanya dikenal dalam bahasa daerah, terutama Jawa,
Bali, dan Sunda, melalui pertunjukan wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang
orang. Faktor ini penting karena dengan begitu wayang lantas dikenal secara
nasional tanpa harus mengikuti wayang kulit semalam suntuk dengan bahasa daerah
ala dalang, yang bagi kanak-kanak (bahkan juga bagi banyak orang dewasa) secara
ironis terasa ”asing”.
Kedua, ikonografi dunia pewayangan
dalam komik gubahan Kosasih mengacu pada ikonografi wayang orang atau wayang
panggung, yang memang merupakan tontonan populer pada masanya, sebagai pilihan
yang lebih komunikatif dibandingkan dengan komik wayang gubahan Sulardi, yang
mengacu ikonografi wayang kulit dua dimensional, maupun gubahan Ratmojo yang
menjadikan ikonografi wayang kulit itu tiga dimensional. Meski gambarnya realisme
tiga dimensional (baca: wacana ”rasional” Barat) yang teracu pada ikonografi
wayang orang, justru karena tidak akan pernah bisa terbebas dari ikatan
kedaerahan, tertegaskan unikumnya dibandingkan dengan komik mana pun di dunia.
Ketiga, meskipun dimulai dengan
semangat setia kepada ”kanda pusaka Hindu”, Kosasih telah melakukan negosiasi
alur terhadap babon asalnya, dalam konteks sikapnya sebagai orang Indonesia:
(1) Drupadi tidak melakukan poliandri, hanya bermonogami dengan Yudhistira; (2)
Gatotkaca tidak berwujud raksasa, bisa terbang, dadanya bertanda bintang,
sebagaimana dibawakan penari Wayang Orang Sriwedari kenamaan Rusman; tetapi
sebaliknya (3) Sihkandi dipertahankan sebagai pria dan tidak menjadi Srikandi,
salah satu istri Arjuna, meski Bhisma tetap tidak sudi melawannya dalam
Bharatayudha, dengan alasan ”karena wanita”.
Dengan demikian, perbincangan kasus
Kosasih ini dapat dianggap sebagai makna yang ditinggalkan: bahwa pencapaian
identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan keberagaman identitas ke
dalam dirinya. Identitas sekaligus berarti kebergandaan identitas. Terbukti,
keberadaan identitas Indonesia tidak dapat dan tidak perlu mengingkari
keberadaan identitas ”non-Indonesia” di dalamnya, seperti ketika komik Kosasih
diakui sebagai ”komik Indonesia”.
SENO GUMIRA AJIDARMA
Dikutip dari: Kompas, 29 Juli 2012
Dikutip dari: Kompas, 29 Juli 2012
No comments:
Post a Comment