Pernyataan di atas menjadi klimaks atas transaksi penjualan divisi ponsel Nokia senilai EUR 5,44 miliar kepada Microsoft.
Meskipun sudah diperkirakan banyak analis, tetap saja kabar tersebut mencengangkan dunia, lebih-lebih lagi bagi rakyat Finlandia. Wajar jika mereka lebih emosional menyikapi transaksi bisnis tersebut.
Gelar raja ponsel memang layak disandang Nokia. Mendominasi pasar ponsel global selama 14 tahun. Menguasai sekitar 40% pangsa pasar sampai tahun 2007. Mengantongi rekor sepanjang masa dengan angka penjualan Nokia 1100 yang menembus 250 juta unit.
Namun semuanya telah menjadi sejarah. Faktanya, inovasi Nokia mulai tumpul sejak kemunculan iPhone tahun 2007. Jaringan distribusi Nokia mulai goyah sejak agresi Samsung Galaxy tahun 2009. Gelar raja ponsel Nokia diambil Samsung tahun 2012. Dan akhirnya, Nokia jatuh ke tangan Microsoft pada September 2013.
Nokia tidak sendirian. Nama-nama besar seperti Motorola, Ericsson dan Palm sudah tidak lagi ramai di pasar ponsel. Bahkan, saat ini publik sedang cemas menunggu nasib BlackBerry, yang telah membentuk komite khusus untuk menentukan masa depan perusahaan.
Tidak hanya produsen gadget, raksasa internet seperti Yahoo dan Microsoft pun sebetulnya sedang menghadapi masalah sulit, karena produknya belum mendapat respon pasar yang memadai.
Apa yang menarik dari drama Nokia? Kisah Nokia menunjukkan fenomena yang perlu dicermati, tidak hanya untuk urusan gadget, namun untuk keseluruhan industri telekomunikasi.
Tiga Fenomena
Pertama, pasar yang besar dan bertumbuh. Pengguna ponsel global telah menembus angka 6,4 miliar dan diperkirakan oleh Strategy Analytics akan tumbuh sekitar 4% per tahun.
Sedangkan pengguna internet, sebagaimana diungkap oleh ajang D11 Conference telah mencapai 2,4 miliar dengan pertumbuhan 8% per tahun. Dalam pasar yang sangat besar dan bertumbuh, wajar jika banyak pihak tertarik untuk ikut bermain.
Kedua, siklus teknologi pendek. Teknologi ponsel pertama kali dikenalkan tahun 1973. Berselang lima tahun muncul teknologi AMPS dengan sebutan 1G. Tahun 1991, jaringan GSM pertama di dunia diluncurkan di Finlandia, yang selanjutnya disebut 2G. Sedangkan internet ponsel diperkenalkan tahun 1999 oleh NTT DoCoMo.
Dua tahun berikutnya NTT DoCoMo meluncurkan jaringan 3G. Teknologi paling gres, 4G diluncurkan tahun 2009 dengan dengan standar WiMAX dan LTE.
Teknologi baru selalu muncul dalam kurun 5-10 tahun. Dengan waktu yang sangat pendek, pemain harus berani memilih dan menempatkan investasi dalam jumlah besar. Pemain dituntut menyiapkan infrastruktur atau membangun jaringan secepat mungkin.
Selanjutnya melakukan penetrasi pasar secara luas untuk mencapai skala ekonomi yang memadai. Kecepatan dan kekuatan finansial menjadi penting untuk bertahan atau menjadi pemenang.
Ketiga, konvergen vs divergen. Industri telekomunikasi sangat dinamis, masing-masing lini industri bisa bergabung atau justru berpisah setiap waktu. PC dan ponsel bergabung dalam tablet. Internet dan televisi bergabung dalam IPTV. Remittance dan ponsel bergabung dalam e-Money. Dan seterusnya.
Samsung memang konglomerasi besar, namun lima tahun lalu namanya di industri ponsel bukanlah apa-apa. Berawal dari merk Galaxy tahun 2009, kini Samsung telah bertengger di puncak kejayaan.
Apple memang telah dikenal luas di industri komputer, namun tidak di ponsel. Sejak debut pertamanya tahun 2007, kini Apple telah menjadi raja ponsel mendampingi Samsung.
Microsoft memang telah menyandang nama besar di perangkat lunak, namun tidak di ponsel. Sekarang, Microsoft mencoba peruntungan di dunia ponsel.
Dengan karakter industri demikian, setiap pemain bisa saja menjadi mitra atau sebaliknya menjadi pesaing mematikan di saat yang lain.
Telekomunikasi Nasional
Industri telekomunikasi nasional tidak pernah lepas dari pengaruh global. Pertumbuhan tinggi, siklus pendek dan konvergensi telah menjadikan industri ini terlihat sangat cantik, namun juga ganas.
Jumlah operator berlebih, sebagian mendulang untung dan sebagian lain menderita, pertarungan harga sangat tajam, dan etika pelayanan sering dilupakan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan (7/6/13), nilai impor ponsel tahun 2012 sebesar USD 2,5 miliar, sementara nilai impor Januari – April 2013 sebesar USD 731,9 juta. Diprediksi oleh Ketua Asosiasi Importir Telepon Seluler Indonesia, tahun ini impor ponsel akan tumbuh sekitar 18%.
Sebagaimana kondisi global, siklus teknologi dalam negeri juga sangat pendek. Seperti diketahui, saat ini Kemenkominfo sedang menyelesaikan penataan blok 3G, namun pada saat yang sama banyak pihak telah mendesak mereka untuk segera menerbitkan regulasi 4G.
Menyikapi konvergensi industri, beberapa operator tidak lagi fokus pada satu produk, namun mendiversifikasi bahkan cenderung menuju konglomerasi. Sebagai contoh, Telkom kini menggarap layanan TIMES, yaitu telecommunication, information, media, edutainment dan services.
Raja vs Jelata
Tiga fenomena di atas menjanjikan peluang sekaligus ancaman. Tidak ada jaminan sang raja akan bertahan lama. Sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan sang jelata terus menderita. Siapakah raja-raja yang terancam di negeri ini? Mari kita sebut pemain-pemain besar sebagai raja.
Untuk operator ponsel, Telkomsel jelas rajanya. Dengan pelanggan lebih dari 125 juta, anak usaha Telkom ini praktis menguasai separuh industri. Disusul Indosat dengan 55,9 juta dan XL 49,1 juta pelanggan.
Majalah Marketeers edisi Maret 2013 menyebut tiga penyelenggara internet paling populer adalah Telkom Speedy, Fastnet dan Indonet. Tiga merek smartphone terpopuler adalah BlackBerry, Nokia dan Samsung. Sedangkan portal berita paling diminati adalah Detik, Yahoo dan Kompas.
Belajar dari kisah Nokia, sebaiknya para raja tetap waspada. Tiga fenomena yang mendorong persaingan brutal bisa membunuh setiap saat. Banyak tantangan yang harus dihadapi sang raja, di antaranya tiga hal berikut.
Pertama, Long Term Evolution (LTE). Teknologi yang mampu mengirim data dengan kecepatan ratusan mega ini bakal menjadi basis teknologi ponsel global yang sangat populer.
Teknologi ini tidak hanya mengubah lansekap persaingan ponsel, namun berdampak juga terhadap persaingan internet, WiFi dan televisi berbayar.
Kedua, Over The Top (OTT). Beberapa tahun terakhir, pemain OTT seperti Google, Facebook, instan messaging sangat diminati publik. Pertumbuhan OTT yang fantastis meresahkan operator karena hal berikut.
Pertama, mengakibatkan lonjakan trafik data yang tajam sehingga perlu tambahan investasi kapasitas jaringan. Kedua, menurunkan trafik voice dan SMS yang notabene adalah sumber pendapatan utama operator. Ketiga, Operator tidak menerima pendapatan langsung dari trafik OTT.
Dengan kondisi demikian, tanpa langkah strategis yang tepat, masa depan operator menjadi pertaruhan.
Ketiga, balon udara WiFi. Google sedang merintis proyek Google Loon, yaitu balon udara yang memancarkan WiFi untuk akses internet. Juni lalu, Loon telah melepas 30 balon di wilayah Selandia Baru.
Sementara di Indonesia, Kabupaten Klaten juga mencoba hal yang sama pada Juli lalu, menempatkan balon di alun-alun kota untuk akses internet rakyat.
Jika proyek balon udara sukses sesuai harapan, harga koneksi internet semakin murah. Tentu hal ini akan mengubah lansekap persaingan industri internet.
Akhirnya, semoga para raja khususnya yang telah menyumbang kontribusi positif kepada negeri ini tetap waspada, bertahan dan terus berjaya di kancah persaingan industri telekomunikasi yang ganas. Sehingga kesedihan rakyat Finlandia tidak harus dirasakan Indonesia.
Jaya telekomunikasi, jaya Indonesia!
No comments:
Post a Comment