TEMPO.CO , Jakarta:
Ada secercah harapan untuk bisa menekan terus membesarnya konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Salah satunya berasal dari
Amir Suwarno, nelayan yang berasal dari Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan
Barat.
Amin mengaku bahwa ide menciptakan alat tersebut dilatarbelakangi oleh kesulitan nelayan memperoleh solar untuk kepentingan berlayar. »Masalah itu menjadi penyakit tahunan yang dihadapi nelayan skala kecil di Kabupaten Kubu Raya,” tuturnya.
Sebab, kondisi geografis daerahnya sering kali menghadapi ancaman angin kencang pada periode Oktober-Januari setiap tahunnya. Walhasil, jadwal distribusi BBM kerap terganggu.
Selain itu, kata Amin, jalur distribusi bahan bakar minyak di Kalimantan selama ini mengandalkan Sungai Kapuas. Sehingga bila di musim kemarau ada kapal kandas atau karam dipastikan pengiriman minyak ke Kabupaten Kubu Raya juga terganggu.
Dilatarbelakangi oleh faktor tersebut, Amin kemudian menciptakan alat konverter yang dinamainya ABG yang merupakan singkatan dari Amin Bensin Gas. Alat ini memungkinkan mesin kapal nelayan menjadi engine dual fuel sehingga memanfaatkan gas dan solar secara bergantian ketika melaut. Amin mengklaim alat buatannya itu tak akan mengganggu kinerja kapal.
Dari aspek ekonomis, menurut dia, penggunaan konverter mampu menghemat penggunaan bahan bakar hingga lima kali lipat. Dalam hitungannya, pengunaan satu liter solar hanya berbanding dengan 240 gram gas. Artinya, bila nelayan melaut dengan menggunakan seliter solar seharga Rp 5.500, maka ketika memasang alat ABG di mesinnya, kebutuhan solar bisa turun menjadi Rp 1.100 saja per liter.
Atas hasil karyanya ini, sudah banyak perusahaan dari luar negeri untuk membeli hak ciptanya dengan harga tinggi. »Tapi saya tolak dengan tegas karena niat saya menciptakan ABG ialah memberdayakan nelayan kecil yang menjadi bagian dari hidup saya selama ini,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment