Akhir-akhir ini Indonesia kembali ramai dengan berita e-KTP, sebuah sistem SIN (Single Identification Number)
yang akan diterapkan di Indonesia. Media sempat ramai dengan gosip yang
katanya “e-KTP tidak bisa difotokopi”. Sangat disayangkan sebetulnya
ketika proyek berbasis nasional ini, terlanjur disikat ketika baru akan muncul. Padahal, justru proyek ini bisa menjadi pintu gerbang Indonesia untuk menjelajah ke seluruh dunia.
e-KTP merupakan tindak lanjut dari undang-undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam undang-undang
ini dikatakan bahwa, setiap pendudukan akan memiliki sebuah NIK atau
Nomor Induk Kependudukan yang bersifat tunggal dan berlaku selamanya.
Dengan e-KTP inilah setiap orang akan memiliki NIK-nya masing-masing.
Dengan begitu, pencatatan kependudukan, paspor, SIM, catatan pajak,
asuransi, serta berbagai dokumen lainnya akan terintegrasi sehingga
kesalahan pencatatan akan bisa dikurangi. Lebih jauh, data ini bisa juga
diintegrasikan dengan data catatan kesehatan setiap individu.
Di Jepang sendiri, sistem SIN ternyata belum ada.
Padahal, siapa yang tidak mengakui kemajuan teknologi negeri sakura ini?
Ternyata, perdebatan penggunaan sistem SIN ini sudah terjadi sejak
tahun 1980an. Setiap ada RUU tentang hal ini, hasilnya selalu diundur.
Permasalahan teknologi pengamanan data memang tidak akan pernah habis
dibahas. Tapi yang menarik adalah, perdebatan lebih banyak
dititikberatkan pada kepercayaan masyarakat Jepang terhadap
pemerintahnya sendiri. Nampaknya masyarakat Jepang masih belum bisa
mempercayakan sepenuhnya hak pengelolaan data pribadi kepada
pemerintahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan hingga saat ini Jepang
belum memiliki sistem SIN.
Lalu apa sih dampaknya jika
suatu negara yang memiliki sistem yang sudah cukup teratur, tapi tidak
memiliki sistem SIN? Jawabannya bisa adalah ketika pemeriksaan identitas
individu. Hingga saat ini, tidak ada standar yang baku dalam
mengidentifikasi suatu individu. Setiap melakukan klarifikasi, berbagai
instansi pemerintah maupun swasta akhirnya bergantung pada nomor
asuransi kesehatan, nomor SIM, atau nomor paspor. Padahal, ketiga nomor
ini tidak selalu bisa diandalkan. Kartu asuransi misalnya, akan berganti
sesuai kota kita tinggal. Sedangkan mengenai SIM dan paspor, tidak
semua orang memilikinya.
Dampak lainnya adalah tidak terintegrasinya data
antara instansi-instansi pemerintah. Hal ini sangat terasa ketika akan
mengurus catatan keuangan. Bagi mahasiswa di Jepang, kita diminta untuk
melaporkan setiap penghasilan yang kita dapat dari kerja paruh, lalu
dari situ kita bisa meminta pengembalian pajak penghasilan yang sudah
terlanjur diambil oleh negara. Tapi, dana itu bisa kita terima jika dan
hanya jika kita melakukan pelaporan ke petugas pencatat pajak. Contoh
lain yang lebih besar permasalahannya adalah hilangnya catatan dana
pensiun beberapa masyarakat Jepang. Menurut laporan pemerintah Jepang,
ada sekitar 50 juta catatan yang diduga terjadi kesalahan. Nama yang
tidak cocok, catatan alamat yang salah, tanggal lahir yang berbeda,
adalah beberapa hal yang menjadi masalah utama. Dari 2 permasalahn ini,
bisa disimpukan tidak ada integrasi data antara catatan yang satu dengan
catatan yang lain. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya jumlah
sistem pencatatan di suatu negara, sebetulnya sistem SIN ini mau tidak
mau akan dibutuhkan.
Di Indonesia, hal-hal seperti ini malah sudah dan sedang terjadi. Tidak sedikit saya mendengar celotehan
rekanan di Indonesia yang bercerita kalau dia memiliki beberapa KTP.
KTP pertama dibuat karena baru 17 tahun. Yang kedua dibuat karena harus
melanjutkan studi ke luar kota. Yang ketiga, karena sempat tinggal di
daerah lain, dan ditawarkan oleh petugas catatan sipil setempat. Justru
ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan pencucian uang,
menghindari pajak, dan sebagainya.
Jepang sendiri baru mulai kembali merencanakan
sistem SIN-nya dengan nama “My Number” sejak awal 2012. RUU-nya sendiri
baru disetujui oleh syu-gi-in (The House of Representative di Jepang) per 9 Mei 2013. Selanjutnya RUU ini akan dibawa ke san-gi-in (The House of Councillors di
Jepang) untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Apabila ini disahkan,
rencananya sistem “My Number” ini akan mulai diberlakukan per 1 Januari
2016. Perusahaan IT di Jepang pun seharusnya sudah mulai untuk
ancang-ancang dengan berbagai sistem rancangan mereka untuk menyambut
keputusan final dari san-gi-in. Karena, jika ini
berhasil, dana proyek yang dikucurkan pasti besar. Kalau tidak ada
masalah dalam sistem yang mereka bangun, bisa dijamin, perusahaan yang
bergabung dalam proyek ini bisa bertahan untuk selamanya, atau minimal
sampai undang-undang ini dihapuskan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan disahkannya
undang-undang mengenai sistem NIK sejak 2006, Indonesia sudah jauh
melangkah dibanding Jepang. Teknologi yang dipakai pun sudah menggunakan
tenaga ahli dari putra-putri bangsa. Kabar terakhir dari milis PPI
Jepang (Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang), BPPT turun langsung
dalam pengembangan teknologi yang ada.
Kita sebagai pihak yang berada di luar, sudah
seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap kelangsungan proyek e-KTP
ini. Bukan tidak mungkin, teknologi yang sudah dan terus dikembangkan
oleh BPPT untuk program e-KTP ini, bisa disebar ke Jepang atau
negara-negara lain yang belum memiliki sistem SIN.
No comments:
Post a Comment