Beberapa tahun belakangan ini,
terbitan bacaan anak mulai meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Bacaan anak
mulai banyak bemunculan. Bahkan ada penerbit yang tadinya hanya melirik buku
pelajaran untuk dijual ke anak, sekarang mulai menelurkan buku bacaan anak baik
cerita maupun pengetahuan. Tentu saja ini merupakan kabar yang cukup bagus.
Bacaan anak tidak lagi hanya menjadi pelengkap pasar, melainkan menjadi segmen
sendiri.
Perkembangan ini, tentu saja menguntungkan
pihak perpustakaan, terutama perpustakaan sekolah. Kalau sebelumnya buku-buku
anak berbahasa Indonesia di rak perpustakaan sekolah, dipenuhi buku pelajaran
dan buku proyek Inpres. Kini pustakawan bisa menggantinya dengan buku-buku
bacaan anak yang belakang ramai diterbitkan. Bukan terjemahan, bukan buku cetak
ulang, melainkan karya-karya baru dari negeri sendiri. Tapi tentu saja ada
syaratnya. Pertama, yang pasti ada anggaran untuk membeli. Kedua, buku-buku
tersebut mudah dicari. Dan yang ketiga, buku-buku tersebut sesuai dengan
kebutuhan sekolah.
Dalam tulisan ini, saya mencoba
mengulas permasalahan bacaan anak berbahasa Indonesia dalam kaitannya dengan
syarat kedua dan ketiga. Saya akan melemparkan beberapa hal yang menjadi
kendala saya sebagai pustakawan sekolah, dalam memenuhi tuntutan bacaan anak
berbahasa Indonesia di sekolah tempat saya bekerja. Bisa jadi permasalahan ini
terjadi juga di sekolah lain, atau mungkin ada permasalahan lain terjadi
berkaitan dengan bacaan anak berbahasa Indonesia ini. Saya berharap tulisan ini
bisa menjadi bahan pembuka diskusi yang menarik, bukan bahan referensi untuk
dikutip. Mudah-mudahan dari diskusi nanti, berbagai alternatif solusi dapat
ditemukan.
Pengadaan di Perpustakaan Sekolah
Melakukan pengadaan untuk perpustakaan
sekolah tidaklah semudah yang terbayang, apalagi untuk SD ke bawah. Buku yang
banyak terbit belum tentu bisa semua masuk ke perpustakaan sekolah. Karena
lingkupnya yang dibatasi -cukup dalam sekolah tersebut, pengadaan koleksi
perpustakaan pun harus disesuaikan dengan aktivitas sekolah. Berdasarkan
pengalaman melakukan pengadaan, ada beberapa hal yang harus menjadi
pertimbangan dalam memilih buku untuk perpustakaan sekolah:
1. Visi dan misi sekolah
2. Kebutuhan kurikulum.
3. Tingkat kemampuan anak.
4. Minat anak.
5. Nilai-nilai universal (untuk tidak menyebutnya moral)
6. Kebijakan pengadaan perpustakaan
2. Kebutuhan kurikulum.
3. Tingkat kemampuan anak.
4. Minat anak.
5. Nilai-nilai universal (untuk tidak menyebutnya moral)
6. Kebijakan pengadaan perpustakaan
Hal-hal tersebut di atas mempunyai
penilaian sendiri di setiap sekolah. Yang hendak saya paparkan, mungkin
sekelumit kendala yang saya alami selama melakukan pengadaan untuk bacaan anak
berbahasa Indonesia. Saya paham apabila penerbit atau penulis, tentu tidak
dapat mengakomodir semua pertimbangan tadi. Namun bagi saya hal ini penting
untuk diperhatikan demi perkembangan bacaan anak berbahasa Indonesia itu
sendiri.
Beberapa Masalah Dalam Pengadaan
Bacaan Anak Berbahasa Indonesia
Selanjutnya saya akan memaparkan
bagaimana pertimbangan-pertimbangan tersebut seringkali belum dapat dipenuhi
oleh terbitan-terbitan berbahasa Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan
antara lain:
1. Tema bacaan anak berbahasa
Indonesia belum beragam.
Dari hasil observasi saya,
kebanyakan buku bacaan anak berbahasa Indonesia masih didominasi oleh tema-tema
yang sama. Tema-tema yang terkadang melupakan nuansa ke-Indonesianya. Nuansa
yang seringkali terlihat ketika saya memasuki rak toko buku berbahasa Indonesia
biasanya bernuansa tips sopan-santun, sektarian, berbau peri, atau ilmu alam.
Tema-tema tersebut kadang tidak disesuaikan dengan lingkungan Indonesia.
Buku-buku cerita anak masih berkutat
di seputar tips menjadi anak yang baik, bukan pemahaman mengenai konsep nilai
universal. Akibatnya banyak cerita yang menjejalkan banyak nilai-nilai dalam
satu cerita. Padahal nilai-nilai itu terkadang tidak ada hubungannya dengan
maksud cerita. Tentu saja cerita ini akhirnya menjadi kehilangan fokus
ceritanya. Bukan tidak mungkin justru anak tidak mendapat apa-apa dari cerita
seperti ini.
Cerita bernuansa Islami juga
belakangan banyak sekali bermunculan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
munculnya terbitan itu. Saya sepakat kalau ada penerbitan yang juga punya misi
tertentu. Namun terkadang nuansa Islam ini muncul dalam buku-buku berlabel
umum. Misalnya buku yang bertajuk Dongeng Balita (tanpa “Islami), ditengah
percakapan muncul istilah “Subhanallah!” atau halamannya terdapat tulisan arab
“Bismillahirahmanirahim”.
Begitu pula dengan buku science yang
belakangan banyak muncul misalnya. Karena merupakan hasil terjemahan, dalam
membahas cuaca seringkali tidak membahas iklim Indonesia sendiri. Padahal
science nantinya digunakan siswa untuk memahami alam di sekitarnya.
Tren mengikuti bacaan asing juga
tidak dapat dihindari. Misalnya munculnya cerita-cerita yang memakai peri.
Padahal Indonesia tidak mengenal konsep peri sama sekali. Akibatnya banyak buku
cerita anak yang menjadi ‘garing’ karena sekedar ikut-ikutan saja. Yang lebih
aneh lagi adalah diterbitkannya buku terjemahan bertemakan “muffin”, yang
jelas-jelas bukan makanan Indonesia. Mengapa tidak menerbitkan buku anak
tentang nasi goreng misalnya yang lebih dikenal anak Indonesia pada umumnya.
Buku bacaan yang berisi ilmu sosial
masih sangat jarang. Kalaupun ada, tema yang diangkat masih berkisah tentang
keanekaragaman budaya Indonesia yang berkutat pada rumah, pakaian, dan
tari-tarian adat. Tidak pernah saya melihat ada seri buku yang membahas cara
hidup seorang anak di daerah tertentu. Atau bagaimana konsep keluarga di setiap
daerah tertentu. Ini membuat pengertian “Bhineka Tunggal Ika” menjadi sebatas
perbedaan secara artifisial.
2. Bacaan anak berbahasa Indonesia
belum mempertimbangan kebutuhan teks anak
Masalah ini adalah masalah yang
cukup membahayakan. Pasalnya, teks dalam buku sering tidak cocok dengan
kemampuan membaca anak. Buku, bukan tidak menarik untuk dibaca, tetapi membuat
anak frustasi dalam membaca. Misalnya saja buku-buku dongeng untuk TK yang
teks-nya bisa mencapai 8 kalimat per halaman. Belum lagi dihitung kalimat
berfrase. Akibatnya buku-buku tersebut hanya bisa dibaca oleh anak kelas 3
ke-atas. Belum lagi lay-out-nya yang terkadang membuat sakit mata atau
mengganggu cara membaca.
Sulit sekali mencari buku anak yang
teks-nya bisa dibaca oleh siswa yang baru mulai belajar membaca. Buku belajar
membaca untuk anak yang baru belajar membaca hanya berkutat di pengejaan. Anak
tidak dikenalkan teks dan konteksnya Di Indonesia juga belum ada penerbit yang
menerbitkan buku-buku bertahap seperti Oxford Reading Tree, Step Into Reading,
dan sebagainya. Buku-buku tersebut padahal sangat dibutuhkan oleh
sekolah-sekolah.
Menyangkut dengan teks juga, banyak
penulis juga yang masih sembarang memilih kata. Akibatnya teks hanya jadi
sekedar alat bantu menyampaikan informasi ke anak. Kebutuhan anak agar bisa
menikmati teks dengan bahasa yang indah tidak diperhatikan. Bunyi teks menjadi
tidak enak untuk dibaca. Tentu saja ini sangat tidak membantu program
read-aloud.
3. Unsur intrinsik yang tidak
diperhatikan
Bagi sekolah, buku cerita anak tidak
cukup sekedar buku bacaan yang punya nilai moral atau sekedar menghibur. Dari
bacaan tersebut seharusnya anak-anak dikenalkan juga dengan dunia sastra
(Indonesia). Perkenalan awal anak ke dunia sastra adalah unsur intrinsik dari
sebuah cerita. Anak dikenalkan penokohan, alur, plot, dan setting yang bagus, dalam
arti membangun logika cerita.
Beberapa penulis seringkali
melupakan hal ini. Cerita ditulis dengan mementingkan bagian awal dan akhir
saja, akibatnya cerita menjadi tidak utuh. Bahkan akibat tidak diperhatikannya
unsur-unsur ini. Cerita yang tadinya mempunyai maksud yang baik, jadi terbalik.
Misalnya saja sebuah buku yag menceritakan tentang rusa yang sombong karena
tanduknya yang indah. Dia memamerkannya pada teman-temannya. Kemudian
teman-temannya menjebak dia ke sarang tawon dan si rusa pun di kejar-kejar
tawon. Lalu langsung saja penulis memberi kesimpulan “itulah akibat suka
sombong”. Cerita yang maksudnya baik ini akhirnya menjadi terkesan sadis.
Dari permasalahan di atas, saya
mempunyai asumsi bahwa pemilihan naskah untuk bacaan anak masih belum selektif.
Buku bacaan anak belum membaca kebutuhan sekolah terhadap sebuah bacaan. Selain
itu, sepertinya fungsi editor untuk bacaan anak juga belum maksimal. Editor
masih sekedar mengedit teks tanpa memperhatikan konteks.
Hal lain yang nampaknya perlu diperhatikan
dalam permasalahan bacaan anak adalah distribusi bacaan anak yang terkesan
tidak serius. Mencari buku anak persis seperti memburu buku langka. Pustakawan
harus selalu menyediakan uang untuk berjaga-jaga karena bisa jadi ke suatu
tempat bertemu buku yang dibutuhkan. Tentu saja ini akan sangat mengganggu
perencanaan anggaran pengadaan. Namun saya berharap semoga saja permasalahan
ini hanya merupakan suatu fase dari perkembangan bacaan anak berbahasa
Indonesia. Semoga saja…
No comments:
Post a Comment