Thursday, July 19, 2012

Warisan Budaya Visual Di "Lewat Djam Malam"



Buku ini tidak hanya mengisahkan proses penyelamatan, tetapi juga mengajak agar semua kita yang ingin turut menyelamatkan warisan budaya visual Indonesia ini bekerjasama bahu membahu menjaga warisan budaya visual kita.


RESTORASI. Seketika kata itu menjadi magis di dunia film Indonesia. Tidak sedikit yang bertanya apa artinya, tetapi kurang lebihnya disimpulkan sebagai ‘upaya penyelamatan’. Sebetulnya, restorasi sendiri bermakna mengembalikan ke kondisi semula, tetapi semua kita tahu film-film tua bermasalah banyak karena “vinegar syndrome”.

Ini persoalan yang tak muncul saat terjadi pergantian bahan film dari bahan film nitrat yang mudah sekali terbakar yang kemudian pada tahun 1948 digantikan dengan cellulose acetate film atau yang biasa disebut ‘film aman’. Tapi ternyata terminologi “aman” itu sendiri akhirnya disangsikan semenjak film-film yang menggunakan materi ini kemudian disimpan di tempat yang panas, lembab, akibatnya malah rusak parah. Laporan ini muncul pertama kali dari Pemerintah India, lalu kemudian studi digelar oleh laboratorium Kodak pada tahun 1960-an. Intinya, materi film ini kelak akan “membusuk” dan seperti bom waktu akan menghancurkan film itu sendiri.

Inilah yang dilawan dengan upaya restorasi. Film-film klasik Indonesia, yang dibuat lampau, rentan terhadap “vinegar syndrome” ini dan karenanya sebuah upaya penyelamatan serius sebaiknya segera dilakukan. Yang pernah menonton film “Lewat Djam Malam” sebelum direstorasi pastilah ingat bagaimana film tersebut sudah buram, goyang, penuh goresan dan suaranya buruk. Tetapi setelah direstorasi, gambarnya menjadi demikian mulus, suara pun jernih, meski tidak 100% tanpa cacat.
Buku berjudul “Lewat Djam Malam Diselamatkan” ini berisi upaya penyelamatan film terbaik karya Usmar Ismail yang berjudul “Lewat Djam Malam” atas kerja banyak orang (non-pemerintah). Seperti halnya film ini, yang produksi swasta, akhirnya orang-orang non-pemerintah yang menyelamatkannya juga. Film “Lewat Djam Malam” ini dibuat pada tahun 1954, produksi bersama dua perusahaan film swasta pribumi, Perfini yang diketuai oleh Usmar Ismail dan Persari yang diketuai oleh Djamaluddin Malik.
“Lewat Djam Malam Diselamatkan”, Sahabat Sinematek, Juni 2012 

Buku ini terdiri dari 3 bagian, setiap bagian berisi esai-esai dan catatan yang dengan jernih menceritakan bagaimana terpilihnya film ini untuk direstorasi, proses kerja restorasi itu sendiri, juga mengenai sutradara Usmar Ismail, dan terakhir mengenai Sinematek Indonesia yang sekarang ini menaungi film-film Indonesia. 

Terkait dengan “vinegar syndrome” tadi, ternyata film “Lewat Djam Malam” masih bisa selamat karena penyimpanan di Sinematek masih tersimpan di suhu yang baik dan jumlah reel lengkap. Permasalahannya hanya penanganan yang salah selama bertahun-tahun menyebabkan kondisi film menjadi memprihatinkan: gulungan pita seluloid melengkung dan menciut, ada bagian seluloid yang robek dan retak. 

Tentang proses restorasi dijelaskan dengan cukup sederhana oleh Davide Pozzi. Ia menjelaskan bagaimana L’Immagine Ritrovata di Italia sebagai laboratorium restorasi yang dipilih untuk melakukan restorasi “Lewat Djam Malam” melakukan tahap-tahap restorasi ini hingga pada akhirnya dihasilkan seluloid 35 mm yang baru dan paket format kamera digital. Davide Pozzi menyebut proyek ini sebagai proyek ambisius, salah satunya karena ia melihat nilai penting film ini bagi sinema nasional Indonesia. Buku ini kemudian memuat foto-foto sebelum dan sesudah restorasi. 
Sebelum dan Sesudah Restorasi 

Artikel “Tidak Mudah Menjadi Indonesia” ditulis Totot Indrarto memberi gambaran arti penting Usmar Ismail dalam sejarah sinema Indonesia. Usmar Ismail memang baru lahir setelah merdeka, setengah abad setelah masuknya film di negeri ini oleh Hindia Belanda. Arti penting Usmar Ismail terletak dari niatnya untuk memproduksi film nasional, film yang Indonesia, yang pertama-tama dibuat bukan untuk kepentingan bisnis, tetapi dari niat mencitrakan Indonesia dalam pita-pita seluloid. Isu nasionalisme paling kental terasa di setiap filmnya dan benar seperti yang ditulis Totot Indrarto, Indonesia sudah beruntung memiliki Usmar Ismail yang meskipun hanya 10 tahun, sudah mampu memberikan fondasi seperti apa film Indonesia itu sebenarnya. Tentu saja, jauh dari kondisi film Indonesia saat ini yang penuh cerita pocong, hantu, dan selangkangan. 
 
Artikel dari Lisabona Rahman cukup membuat semua kita yang membacanya terhenyak. Judulnya sendiri cukup menancap: “Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?” Ternyata meskipun hanya menyimpan 14% seluruh sejarah sinema Indonesia, Sinematek Indonesia menyimpan paling tidak 5 film anak bangsa yang masuk kategori ” Memory of The World: national cinematic heritage”. Itu berarti Sinematek Indonesia bertugas memangku ingatan bangsa yang demikian penting dalam pita-pita seluloid. Namun demikian pentingnya keberadaan Sinematek Indonesia tidak terlalu dianggap penting banyak orang, itulah sebabnya artikel ini mencoba memperlihatkan dan sekaligus menegur apakah generasi muda hanya pantas menonton film-film rusak yang berisi ingatan bangsa itu?

Buku ini sendiri tidak menutup kisah pada sebuah sukses, tetapi menutupnya dengan sebuah tawaran, sebuah ajakan berskala luas, agar semua kita yang ingin turut menyelamatkan warisan budaya visual Indonesia ini bekerjasama bahu membahu menjadi sahabat-sahabat baru bagi Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia perlu didampingi Sahabat Sinematek, yang akan berjalan beriringan memperbaiki sistem dan terutama menyelamatkan satu persatu ingatan bangsa ini, seluloid demi seluloid agar kita tetap memiliki sejarah lengkap perjalanan bangsa ini yang memang tidak mudah.

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter