Stop Bullying |
Oleh: Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
“Bullying has been a societal problem for hundred of years” (Ross)
Siapa pernah jadi pelaku atau korban perisakan (bullying)? Olweus’s (1993) mendefinisikan bullying sebagai berikut, “... a student is being bullied or victimized when he is exposed repeatedly and over time to negative actions on the part of one or more other students”. Kasus demi kasus perisakan masih kerap terjadi di sekolah. Lantas, mengapa persoalan yang satu ini tak kunjung usai? Bisa jadi karena kita anggap hal ini lumrah karena saking seringnya terjadi perulangan. Atau, bisa jadi karena persoalan ini tak melibatkan anak kita, sehingga dianggap bukan perkara penting.
Padahal, sungguh persoalan ini amat serius. Smith dan Brain (2000) menyatakan bahwa kasus perisakan banyak terjadi di lingkungan sekolah. Sebuah hasil riset juga membuktikan, “Many student should expect to be bullied as researchers have estimated that 49 to 50% of all students will experience some form of bullying during their educational experience” (Charach, Pepler & Ziegler, 1995; Farrington, 1993). Waspadalah.
Michael Apple, ahli pedagogik kritis di Amerika Serikat pernah mengatakan, “Sekolah merupakan kapital sosial yang berfungsi sebagai reproduksi ilmu pengetahuan resmi yang bertujuan untuk mempertahankan ketidakadilan dalam hubungan kelas, baik dalam masyarakat maupun di dalam sekolah”. Sikap membiarkan fisik dan mental anak terintimadisi secara kontinyu di sekolah, inilah salah satu bentuk ketidakadilan yang bisa merusak masa depan anak secara permanen.
Yang bikin geram, sekolah sebagai sebuah institusi masih kerap sibuk menjaga citra dirinya ketimbang sungguh-sungguh menuntaskan persoalan kasus-kasus perisakan yang terjadi. Masih banyak oknum kepala sekolah tergoda untuk mencari kambing hitam demi menjaga citra diri dan sekolahnya. Kasus selalu dianggap selesai, tapi faktor utama yang menjadi inti soal tak teridentifikasi dengan baik. Lantas, apa yang terjadi kemudian? Kasus perisakan di sekolah makin menjamur karena sekolah tak punya kapasitas mumpuni untuk atasi persoalan gawat darurat ini. Tak ada standar pengetahuan dan prosedur dalam menangani kasus perisakan dan kekerasan di sekolah.
Ada beberapa catatan kritis soal lemahnya kapasitas sekolah atasi kasus-kasus perisakan. Pertama, ketika ada kasus perisakan terungkap, sekolah cenderung menutup diri dan menyembunyikan catatan hitam yang berpotensi mencoreng nama baik sekolah. Sikap ini kontraproduktif dengan upaya melindungi hak-hak anak. Kontradiktif pula dengan upaya membumikan gagasan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Dalam konteks pendidikan karakter, setiap orang bisa berbuat kesalahan. Itu hal wajar. Yang tak wajar, tak mau tahu kalau kita telah berbuat salah. Jika sudah tak mau tahu, alih-alih menyadari kekeliruan, malah sibuk mencari kambing hitam. Andai tak mau legowo dan belajar dari kesalahan, siap-siap saja hadapi masalah yang makin ruwet dan kompleks.
Kedua, perlu adanya sistem kebijakan yang kondusif mendorong terjadinya reformasi sekolah, khusus terkait upaya memerangi kasus perisakan. Misal, pemerintah harusnya mengapresiasi sekolah yang secara terbuka mengungkap, mengidentifikasi akar masalah, serta menunjukkan upaya konkret dalam menghilangkan kasus-kasus perisakan di sekolah. Sebaliknya, sekolah yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyembunyikan kasus kekerasan di sekolah, ada mekanisme sanksi bertahap sampai pada keputusan paling berat, dicabut izin operasionalnya. Tak peduli sekolah itu terakreditasi A, bertitel sekolah favorit, atau embel-embel lainnya. Jika terbukti tak mampu melindungi keamanan fisik dan mental anak, langsung mendapat ‘nilai merah’ dalam penilaian kinerja sekolah. Kebijakan nyata yang pro-anak Indonesia.
Ketiga, aturan sekolah kerap ditetapkan secara top down. Konsekuensinya, tak ada pemahaman kolektif terhadap aturan-aturan sekolah. Hanya pihak-pihak yang merumuskan aturan saja yang mungkin paham aturan. Maka, tak heran kalau hanya sebagian pihak memiliki kesadaran untuk menaati aturan. Kelemahan paling fatal dari pilihan kebijakan top down, tak ada kesadaran kolektif untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua yang aman dan nyaman bagi anak.
Keempat, lemahnya kreativitas pemimpin sekolah dalam merumuskan program anti-kekerasan. Pilihan strategi yang populer masih bicara seputar soal pemasangan CCTV, peningkatan jumlah personil keamanan, dan hal lain yang malah makin menguatkan persepsi negatif bahwa sekolah bukan tempat aman bagi anak.
Di Norwegia, beberapa sekolah SD memiliki konsep bangku pertemanan. Bangku ini dicat berwarna-warni, diletakan di tempat terbuka, sangat menarik perhatian. Setiap siswa SD yang merasa sendirian, tak ada teman bermain atau berbicara saat jam istirahat tiba, bisa duduk di bangku pertemanan. Kemudian, teman-teman lainnya dari kelas berapapun, yang melihat ada ada temannya yang duduk di bangku pertemanan, menawarkan diri untuk bermain atau sekadar mengobrol dengannya. Idenya sederhana, setiap anak belajar peduli pada sesama temannya. Perilaku baik dibiasakan dan difasilitasi secara optimal.
Di Singapura, saat ada agenda penerimaan siswa baru, seorang kakak kelas diposisikan sebagai pembina untuk beberapa adik kelasnya. Mereka bersama-sama datang ke tempat publik, seperti terminal bus, bandara, stasiun kereta, dan tempat lainnya. Lantas, apa yang mereka kerjakan? Mereka harus melakukan proyek kebaikan, seperti memungut sampah yang bertebaran, membantu orangtua lanjut usia untuk menyeberang jalan, dan tindakan kebaikan lainnya. Setiap kakak kelas dilatih jiwa kepemimpinannya. Mereka memosisikan adik kelas sebagai pihak yang harus diayomi dan dibina. Bukan dijahili dan diteror karena merasa punya kekuasaan sebagai senior. Konsep pendidikan karakter bisa dipraktikkan lewat cara-cara sederhana dan menarik.
Jangan silau dengan nama besar suatu sekolah. Godaan terbesar bagi sekolah yang mengklaim dirinya hebat dan favorit, menutup setiap borok yang terjadi demi menyelamatkan citra sekolah. Jika keborokan itu berkait kekerasan terhadap anak, mengapa tak ungkap apa adanya? Ketika sekolah menunjukkan upaya serius untuk memerangi kekerasan terhadap anak, publik akan menilai secara lebih fair. Langkah tak lazim tapi istimewa yang bisa dilakukan sekolah dalam konteks kekinian. Jangan pernah berpikir citra sekolah akan hancur. Justru sekolah telah nyata memberikan kontribusi terbaik untuk merawat anak-anak Indonesia, para pewaris dan calon pemimpin bangsa di masa depan. Pilih mana, jaga citra sekolah atau lindungi anak dari tindakan perisakan?
“Bullying has been a societal problem for hundred of years” (Ross)
Siapa pernah jadi pelaku atau korban perisakan (bullying)? Olweus’s (1993) mendefinisikan bullying sebagai berikut, “... a student is being bullied or victimized when he is exposed repeatedly and over time to negative actions on the part of one or more other students”. Kasus demi kasus perisakan masih kerap terjadi di sekolah. Lantas, mengapa persoalan yang satu ini tak kunjung usai? Bisa jadi karena kita anggap hal ini lumrah karena saking seringnya terjadi perulangan. Atau, bisa jadi karena persoalan ini tak melibatkan anak kita, sehingga dianggap bukan perkara penting.
Padahal, sungguh persoalan ini amat serius. Smith dan Brain (2000) menyatakan bahwa kasus perisakan banyak terjadi di lingkungan sekolah. Sebuah hasil riset juga membuktikan, “Many student should expect to be bullied as researchers have estimated that 49 to 50% of all students will experience some form of bullying during their educational experience” (Charach, Pepler & Ziegler, 1995; Farrington, 1993). Waspadalah.
Michael Apple, ahli pedagogik kritis di Amerika Serikat pernah mengatakan, “Sekolah merupakan kapital sosial yang berfungsi sebagai reproduksi ilmu pengetahuan resmi yang bertujuan untuk mempertahankan ketidakadilan dalam hubungan kelas, baik dalam masyarakat maupun di dalam sekolah”. Sikap membiarkan fisik dan mental anak terintimadisi secara kontinyu di sekolah, inilah salah satu bentuk ketidakadilan yang bisa merusak masa depan anak secara permanen.
Yang bikin geram, sekolah sebagai sebuah institusi masih kerap sibuk menjaga citra dirinya ketimbang sungguh-sungguh menuntaskan persoalan kasus-kasus perisakan yang terjadi. Masih banyak oknum kepala sekolah tergoda untuk mencari kambing hitam demi menjaga citra diri dan sekolahnya. Kasus selalu dianggap selesai, tapi faktor utama yang menjadi inti soal tak teridentifikasi dengan baik. Lantas, apa yang terjadi kemudian? Kasus perisakan di sekolah makin menjamur karena sekolah tak punya kapasitas mumpuni untuk atasi persoalan gawat darurat ini. Tak ada standar pengetahuan dan prosedur dalam menangani kasus perisakan dan kekerasan di sekolah.
Ada beberapa catatan kritis soal lemahnya kapasitas sekolah atasi kasus-kasus perisakan. Pertama, ketika ada kasus perisakan terungkap, sekolah cenderung menutup diri dan menyembunyikan catatan hitam yang berpotensi mencoreng nama baik sekolah. Sikap ini kontraproduktif dengan upaya melindungi hak-hak anak. Kontradiktif pula dengan upaya membumikan gagasan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Dalam konteks pendidikan karakter, setiap orang bisa berbuat kesalahan. Itu hal wajar. Yang tak wajar, tak mau tahu kalau kita telah berbuat salah. Jika sudah tak mau tahu, alih-alih menyadari kekeliruan, malah sibuk mencari kambing hitam. Andai tak mau legowo dan belajar dari kesalahan, siap-siap saja hadapi masalah yang makin ruwet dan kompleks.
Kedua, perlu adanya sistem kebijakan yang kondusif mendorong terjadinya reformasi sekolah, khusus terkait upaya memerangi kasus perisakan. Misal, pemerintah harusnya mengapresiasi sekolah yang secara terbuka mengungkap, mengidentifikasi akar masalah, serta menunjukkan upaya konkret dalam menghilangkan kasus-kasus perisakan di sekolah. Sebaliknya, sekolah yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyembunyikan kasus kekerasan di sekolah, ada mekanisme sanksi bertahap sampai pada keputusan paling berat, dicabut izin operasionalnya. Tak peduli sekolah itu terakreditasi A, bertitel sekolah favorit, atau embel-embel lainnya. Jika terbukti tak mampu melindungi keamanan fisik dan mental anak, langsung mendapat ‘nilai merah’ dalam penilaian kinerja sekolah. Kebijakan nyata yang pro-anak Indonesia.
Ketiga, aturan sekolah kerap ditetapkan secara top down. Konsekuensinya, tak ada pemahaman kolektif terhadap aturan-aturan sekolah. Hanya pihak-pihak yang merumuskan aturan saja yang mungkin paham aturan. Maka, tak heran kalau hanya sebagian pihak memiliki kesadaran untuk menaati aturan. Kelemahan paling fatal dari pilihan kebijakan top down, tak ada kesadaran kolektif untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua yang aman dan nyaman bagi anak.
Keempat, lemahnya kreativitas pemimpin sekolah dalam merumuskan program anti-kekerasan. Pilihan strategi yang populer masih bicara seputar soal pemasangan CCTV, peningkatan jumlah personil keamanan, dan hal lain yang malah makin menguatkan persepsi negatif bahwa sekolah bukan tempat aman bagi anak.
Di Norwegia, beberapa sekolah SD memiliki konsep bangku pertemanan. Bangku ini dicat berwarna-warni, diletakan di tempat terbuka, sangat menarik perhatian. Setiap siswa SD yang merasa sendirian, tak ada teman bermain atau berbicara saat jam istirahat tiba, bisa duduk di bangku pertemanan. Kemudian, teman-teman lainnya dari kelas berapapun, yang melihat ada ada temannya yang duduk di bangku pertemanan, menawarkan diri untuk bermain atau sekadar mengobrol dengannya. Idenya sederhana, setiap anak belajar peduli pada sesama temannya. Perilaku baik dibiasakan dan difasilitasi secara optimal.
Di Singapura, saat ada agenda penerimaan siswa baru, seorang kakak kelas diposisikan sebagai pembina untuk beberapa adik kelasnya. Mereka bersama-sama datang ke tempat publik, seperti terminal bus, bandara, stasiun kereta, dan tempat lainnya. Lantas, apa yang mereka kerjakan? Mereka harus melakukan proyek kebaikan, seperti memungut sampah yang bertebaran, membantu orangtua lanjut usia untuk menyeberang jalan, dan tindakan kebaikan lainnya. Setiap kakak kelas dilatih jiwa kepemimpinannya. Mereka memosisikan adik kelas sebagai pihak yang harus diayomi dan dibina. Bukan dijahili dan diteror karena merasa punya kekuasaan sebagai senior. Konsep pendidikan karakter bisa dipraktikkan lewat cara-cara sederhana dan menarik.
Jangan silau dengan nama besar suatu sekolah. Godaan terbesar bagi sekolah yang mengklaim dirinya hebat dan favorit, menutup setiap borok yang terjadi demi menyelamatkan citra sekolah. Jika keborokan itu berkait kekerasan terhadap anak, mengapa tak ungkap apa adanya? Ketika sekolah menunjukkan upaya serius untuk memerangi kekerasan terhadap anak, publik akan menilai secara lebih fair. Langkah tak lazim tapi istimewa yang bisa dilakukan sekolah dalam konteks kekinian. Jangan pernah berpikir citra sekolah akan hancur. Justru sekolah telah nyata memberikan kontribusi terbaik untuk merawat anak-anak Indonesia, para pewaris dan calon pemimpin bangsa di masa depan. Pilih mana, jaga citra sekolah atau lindungi anak dari tindakan perisakan?
No comments:
Post a Comment