Belakangan ini, para pengusaha properti kembali gencar menyuarakan agar
pihak asing diperbolehkan memiliki properti di Indonesia. Kali ini
lokasi yang diminta adalah di Batam, dengan dalil kebijakan itu bakal
mampu mendatangkan devisa besar.
Ya, demi keuntungan berlimpah bagi pengusaha properti.
Menteri
Perumahan Rakyat Djan Faridz mendukung penuh rencana tersebut. Bahkan
pejabat negara yang sebelumnya adalah pengusaha properti ini, dalam
bahasanya, ingin agar Batam jadi Singapura kedua. Artinya, konsumen
utama yang dibidik adalah para warga Singapura.
Kampanye ini
seolah gayung sambutan atas yang terjadi di Negeri Singa itu. Seperti
diberitakan Channel News Asia, media milik pemerintah Singapura
mempublikasikan bahwa warga di sana sedang memburu properti di kawasan
Batam, Bintan, bahkan Bali untuk investasi. Bukan untuk tempat tinggal.
Selain
itu, properti tersebut digunakan untuk liburan mengingat keterbatasan
lahan di negaranya. Studi konsultan properti asal Inggris, Night Frank,
menyebutkan bahwa tahun ini warga Singapura masuk dalam 10 besar pembeli
properti untuk tujuan liburan.
Tak heran, bila pihak asing kelak
benar-benar diperbolehkan membeli properti di kawasan, pasar siap
melahap. Namun keinginan ini terbentur Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pada aturan itu
ditegaskan, warga negara asing hanya diperbolehkan menggunakan atau
memakai properti di Indonesia. Berarti sewa atau hak pakai (bukan
membeli).
Semangat dari undang-undang ini jelas sangat
bertentangan dengah harapan pengusaha yang didukung oleh Menteri
Perumahan Rakyat. Maunya pengusaha, izin jual-beli hak itu yang
diperbolehkan.
Jika usulan pengusaha ini dikabulkan, apa yang
terjadi? Betul, Indonesia memang akan dapat devisa. Tapi dampak
sosialnya bakal jauh lebih buruk dan berjangka panjang. Terutama akibat
perubahan harga.
Warga asing dengan modal yang umumnya lebih
besar, seandainya boleh mentransaksikan haknya di properti yang berdiri
di atas lahan Indonesia, berpotensi besar mendorong harga. Makin sering
ditransaksikan akibat permintaan yang terus datang, sesuai hukum
ekonomi, maka haganya makin tinggi.
Efek lanjutan dari fenomena
ini adalah makin jauhnya harga properti dari jangkauan warga lokal.
Inilah yang belakang terjadi di sejumlah negara, termasuk Singapura
sendiri.
Singapura bahkan sudah sampai pada titik “mendinginkan”
hasrat asing membeli properti. Caranya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru yang disebut sebagai ‘duty stamp’ alias bea stempel.
Intinya adalah tambahan biaya agar harga khusus warga asing lebih mahal,
mengingat Singapura sudah sulit mundur dari liberalisasi properti.
Begitu
pun Malaysia. Bahkan negara ini mulai memberlakukan harga terlarang
bagi warga asing. Maksudnya adalah batas minimum harga properti yang
boleh dibeli oleh warga negara asing, terbatas di atas Rp 1,5 miliar.
Kebijakan
ini dikeluarkan pemerintah atas desakan kelompok kelas menengah
Malaysia yang gusar lantaran harga properti terus naik di negaranya
akibat serbuan asing. Dalam lima tahun terakhir, harga properti di
negara tersebut naik hampir 30 persen.
Dampak lain yang sangat mungkin terjadi adalah penggelembungan (bubble) harga properti. Cina yang tahun ini
ditahbiskan
sebagai pasar properti paling bergairah di dunia versi studi Knight
Frank, mulai khawatir. Dalam lima tahun terakhir, harga properti di
negara tersebut sudah naik 110 persen.
Pemerintah Negeri Tirai
Bambu itu tidak ingin peristiwa di Amerika terjadi, ketika kontraksi
datang. Kredit yang membiayai properti tak terbayar akibat debitor
mengalami krisis, sehingga pembeli aset kredit pun terkena imbasnya.
Harga properti langsung terjun bebas.
Untuk meredam, pemerintah
Cina langsung bereaksi cepat: suku bunga pinjaman dinaikkan, jumlah
properti yang bisa dibeli dibatasi, dan bagi bank diberikan beban giro
wajib minimum atau dana yang harus disimpan di bank sentral ikut
ditambah. Pasar properti mulai agak mendingin. Sedikit.
Jadi,
tren yang berkembang saat ini justru upaya pemerintah melindungi
properti dari serbuan asing. Memberikan batasan-batasan kepemilikan
asing, agar tidak terlanjur kena dampak sosial dan ekonomi.
Uniknya, Indonesia malah ingin melakukan sebaliknya. Entahlah.
Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com
Let's Share Knowledge... Lebih Baik Hidup Dengan Banyak Warna, Dari Pada Hidup Dengan Satu Warna!!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
FanPage Taste Of Knowledge
Popular Posts
-
Futsal adalah permainan bola yang dimainkan oleh dua tim, yang masing-masing beranggotakan lima orang. Tujuannya adalah memasukkan bola ke ...
-
Sejak lahir, bocah asal Cikarang ini tak punya alat kelamin. Akibatnya, kencingnya tak terkontrol. Dewa penolong baru datang setelah ia beru...
-
Sinema Wajah Indonesia, Hadirkan Konten Tayangan Yang Lebih Indonesia Program ini merupakan rangkaian produksi dan penayangan film televisi...
-
Liburan Natal boleh jadi sudah usai, tapi liburan Tahun Baru baru akan dimulai besok. Untuk mempersiapkan kenang-kenangan dari saat-saat k...
-
Ada banyak Cara atau langkah - langkah untuk bagaimana memasang Tampilan Yahoo Messenger anda di dalam sebuah Forum, Blog atau Website Priba...
No comments:
Post a Comment