Friday, March 24, 2017

Mohammad Hatta, Cerita Tentang Kesederhanaan Dan Kejujuran

Nama Mohammad Hatta tak pernah bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia. Pria yang akrab disapa Bung Hatta itu merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia di masa penjajahan Belanda, Jepang dan di masa revolusi.

Bersama Soekarno, Bung Hatta menandatangani proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karenanya, Bung Karno dan Bung Hatta dikenal sebagai sang proklamator.

14 Maret lalu tepat 35 tahun Bung Hattaberpulang ke pangkuan ilahi. Tepat pada 14 Maret 1980, pria kelahiran 12 Agustus 1902 di Bukittinggi itu mengembuskan napas terakhirnya pada usia 77 tahun di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Bung Hatta dikebumikan di TPU Tanah Kusir selang satu hari kemudian. Bung Hattamerupakan sosok yang jarang ada di negeri tercinta saat ini.

Sosoknya yang rela berkorban demi kepentingan bangsa berbanding terbalik dengan para elite negeri saat ini yang banyak terjerat korupsi.Bung Hatta merupakan sosok sederhana yang tak memperkaya diri sendiri dari jabatan yang dimilikinya.

Padahal jika ia mau, tentu tidaklah sulit. Sebab, berbagai posisi penting pernah dijabatnya antara lain wakil presiden dan perdana menteri.

Begitu sederhananya sampai-sampai pria yang mendapat gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda pada 1932 itu hingga akhir hayatnya tak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diimpikannya.

Seperti diceritakan sekretaris pribadi Bung Hatta, Iding Wangsa Widjaja, suatu ketika Bung Hattapernah berjalan melewati pertokoan di luar negeri. Saat itu Bung Hatta melihat sepasang sepatu Bally yang terpampang di etalase toko.

Bung Hatta sangat terkesima dan ingin memiliki sepatu Bally itu. Sampai-sampai guntingan iklan sepatu Bally itu disimpannya di dalam dompet. Saat itu, suami dari Rahmi Rachim itu berharap suatu waktu bisa membelinya.

Namun hingga akhir hayatnya, sang proklamator tak bisa membelinya. Penyebabnya, uang tabungannya tidaklah cukup karena selalu diambil untuk membiayai keperluan rumah tangga, membantu saudara dan kerabatnya.

Bahkan di usia tuanya, hidup Hatta sangat memprihatinkan. Hidup sangat sederhana dengan biaya pensiunan wakil presiden, ternyata belum mencukupi kebutuhan hidupnya. Ironisnya, Bung Hatta tidak mampu membayar Pajak Bumi dan Bangunan, Air, bahkan tidak mampu membayar listrik.

Ali Sadikin terhenyak mendengar kabar itu. Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta tak mampu membayar iuran air PAM. Saking kecilnya uang pensiun, Hatta juga kesulitan membayar listrik dan uang pajak dan bangunan.

Gubernur legendaris Jakarta itu terharu melihat kondisi Hatta. Seorang pemimpin yang jujur hingga hidup susah di hari tua.

“Begitu sederhananya hidup pemimpin kita pada waktu itu,” kata Bang Ali terharu. Hal itu dikisahkan Bang Ali dalam biografinya Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 yang ditulis Ramadhan KH.

Bang Ali tak cuma terharu, dia langsung bergerak. Sang Letnan Jenderal Marinir itu melobi DPRD DKI untuk menjadikan Bung Hatta sebagai warga kota utama. Dengan begitu Bung Hatta terbebas dari iuran air dan PBB.

DPRD setuju. Pemerintah Pusat juga memberikan sejumlah bantuan, di antaranya bebas bayar listrik.

Ironi, seorang proklamator, mantan wakil presiden, mantan perdana menteri dan seorang Bapak Bangsa Indonesia tak punya uang untuk membayar listrik dan air. Tapi itulah kejujuran seorang Mohammad Hatta. Padahal jika mau main proyek, Hatta tentu bisa kaya tujuh turunan macam pejabat bermental bandit.

Lain lagi menurut Jenderal Hoegeng. Jika ada sosok yang membuat Jenderal Hoegeng merasa kagum akan kejujuran seseorang, maka Mohammad Hatta orangnya.

Jika Jenderal Hoegeng yang terkenal paling jujur saja sampai kagum, maka bisa dibayangkan bagaimana hebatnya Hatta.

Hatta adalah sosok yang membuat Hoegeng selalu malu untuk melakukan tindakan hina seperti korupsi. Apalagi Hoegeng tahu bagaimana melaratnya Hatta setelah mundur sebagai Wakil Presiden tahun 1956.

“Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, diberitakan dia hanya memiliki uang tabungan Rp 200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik,” tulis Jenderal Hoegeng dalam memoarnya.

Berapa nilai uang Rp 200 pada saat itu jika dihitung dengan kondisi sekarang? Seorang prajurit TNI berpangkat prajurit satu bercerita pada merdeka.com, saat tahun 1956, gajinya Rp 125 per bulan. Tak cukup untuk hidup sebulan. Biasanya hanya cukup dua minggu, setelahnya sibuk hutang sana-sini.

Ironi, seorang wakil presiden hanya memiliki uang nyaris setara dengan prajurit TNI berpangkat paling rendah.

Saat pensiun, Hatta juga menolak semua jabatan komisaris BUMN atau posisi lain yang sebenarnya bisa membuatnya hidup enak. Tapi sudah jadi rahasia umum jika komisaris BUMN hanya makan gaji buta. Hatta tak sudi memeras bangsanya dengan menduduki jabatan seperti itu.

Seperti kata-katanya yang akan abadi sepanjang zaman.

“Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat..”

Maka terpujilah pejabat sepertimu Bung Hata.

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter