Friday, June 29, 2018

Petahana Jerman Terjungkal Di "Pilkada" Rusia

Petahana Jerman Terjungkal di "Pilkada" Rusia
Sumber: @FIFAWorldCup 
Hidup kita sering dipenuhi penyesalan atas apa yang tidak bisa kita raih. Sekali waktu, hidup kita disesaki penderitaan gara-gara sesuatu yang gagal kita raih.
Dalam tulisan ringkas dan ringan itu, saya berkisah soal nasib Prancis, Italia, dan Spanyol. Nasib buruk yang dialami ketiga jagoan Eropa itu sewaktu-waktu juga dapat menimpa Jerman.

Ringkasnya begini. Perancis, juara Piala Dunia 1998, pada Piala Dunia 2002 tidak lolos fase grup. Italia, juara Piala Dunia 2006, pada Piala Dunia 2010 tidak lolos fase grup. Terakhir Spanyol, juara Piala Dunia 2010, gugur di fase penyisihan grup pada Piala Dunia 2014.

Tidak. Jangan mengira saya ini juru ramal atau ahli nujum. Saya hanyalah seorang juru ramai, bukan juru ramal. Meski kadang-kadang menjadi ahli mujur, namun belum pernah didaulat selaku ahli nujum.

Ngeri pamali, nanti jadi duri.
Penyerang Jerman seolah tak percaya bahwa Jerman kalah (Foto: Alexander Hassenstein-FIFA/Getty Images)
Penyerang Jerman seolah tak percaya bahwa Jerman kalah (Foto: Alexander Hassenstein-FIFA/Getty Images) 

Sekarang kita kembali pada nasib nahas "sang petahana" Jerman.

Sebenarnya sejarah sering memajang cermin supaya kita dapat berguru pada masa lalu. Hanya saja, kita acapkali lalai berkaca. Tidak heran karena manusia memang diberkati watak lupa diri atau lupa daratan. Malahan, lupa berguru pada masa lalu.

Ternyata taksiran saya sedikit bertuah. Jerman, sang petahana alias juara bertahan alias juara Piala Dunia 2014, keok dua kali pada babak penyisihan Piala Dunia 2018.

Sesungguhnya Jerman sudah diuji dengan kekalahan tatkala melawan Meksiko pada laga pertama. Kekalahan tersebut mestinya digunakan sebagai "kaca bening" buat menakar kelemahan. Kemudian, menukar kelemahan itu dengan kekuatan.

Toni Kroos dkk. memang berhasil memperbaiki diri. Hasilnya, mereka mengalahkan Swedia pada laga kedua. Sayangnya, kemenangan atas Swedia membuat Jerman terlalu semringah. Dikiranya lawan terakhir, Korea Selatan, bakal mudah ditekuk.

Padahal, Pasukan Daebak tengah terluka dan berduka lantaran kalah pada dua laga awal. Secara psikologis, mereka yang terluka sering habis-habisan demi martabat diri. Mereka yang berduka kerap mati-matian demi harkat diri.

Mengapa Jerman bisa sebegitu rapuh dan lemah? Memang kita tahu bahwa Tim Panser masyhur sebagai tim yang lambat panas. Namun, kereta sudah laju. Sudah kasip.

Lantas, apa lagi yang hendak dipanaskan jikalau nasi sudah hangus?

Ketua Tim Sukses Petahana menutup muka karena malu (Foto: Lars Baron - FIFA/FIFA via Getty Images)
Ketua Tim Sukses Petahana menutup muka karena malu (Foto: Lars Baron - FIFA/FIFA via Getty Images) 
Loew, selaku Ketua Tim Sukses Petahana Jerman, gagal menyasar dan menyisir sengsara yang bakal menimpa. Akibatnya fatal. Timnas Jerman gagal total pada laga pamungkas dan terpaksa gigit jari.  Setidaknya ada empat penyakit kaum petahana, dalam hal ini timnas Jerman, sewaktu kembali terjun ke medan laga.

Pertama, Jerman lupa diri. Inilah kumannya. Jerman mengabaikan sejarah. Seyogianya, Jerman tidak perlu jauh-jauh becermin pada kegagalan Prancis, Italia, atau Spanyol. Jerman sendiri punya pengalaman pahit sebagai juara bertahan. Ingatlah nasib Jerman pada Piala Eropa 1984 dan 2000.
Status Jerman pada Piala Eropa 1984 ialah juara bertahan, tetapi kalah bersaing melawan Portugal dan Spanyol di fase grup. Setelah menjuarai Piala Eropa 1996, Jerman jadi pecundang empat tahun kemudian. Pada Piala Eropa 2000, Jerman berakhir sebagai juru kunci grup. Tim Diesel tidak berdaya menyaingi Portugal, Rumania, dan Inggris.

Lupa diri akan menggiring kita pada gagal mawas diri, Djarot salah satu contoh termutakhir. Gagal di Pilgub DKI Jakarta, lalu terkapar lagi di Pilgub Sumut. Khofifah contoh terbaik dalam perkara mawas diri. Dua kali kegagalan dijadikan cermin. Ia tekun dan telaten belajar pada sejarah. Sekarang ia unggul di Pilgub Jatim.

Itulah cikal bakal kekalahan Jerman.
Lupa diri akan menggiring kita pada gagal mawas diri.
Kedua, Jerman terlalu jemawa. Jangan kira sesuatu yang receh selalu remeh. Tarikan napas, misalnya. Karena terbiasa dilakukan secara alamiah, kita pasti gelagapan setiap sesak napas. Apalagi dalam selingkup mimpi buruk atau nyaris tenggelam di kolam tak beriak.

Jerman menyangka Korsel cuma tim receh. Pasukan Drama Korea itu tidak perlu diwaspadai. Tidak akan menyakiti, tidak akan melukai. Padahal, sekali lagi, Korsel sedang berusaha mengungkit dan mengangkat harga diri.

Kita bisa mundur ke Piala Dunia 1966. Nasib juara bertahan, Brasil, persis nasib Jerman tahun ini. Sekali menang, dua kali kalah. Keduanya juga sama-sama mencetak empat gol dalam tiga pertandingan. Bedanya pada gol yang bersarang di gawang mereka. Brasil kemasukan 6 gol, sedangkan Jerman 7 gol.

Rasa jewama akan mengurung kita dalam kerangkeng kurang waspada. Tengoklah nasib Calon Tunggal di Pilkada Kota Makassar. Diusung 10 partai, diprediksi menang mudah, faktanya mengenaskan. Calon Tunggal dipaksa warga Makassar mengakui keunggulan Kotak Kosong.
Itulah sebab-musabab keterpurukan Jerman.
Rasa jewama akan mengurung kita dalam kerangkeng kurang waspada.

Tim sorak Petahana Jerman tidak menduga akan menyaksikan nestapa (Foto: Catherine Ivill - FIFA/Getty Images)
Tim sorak Petahana Jerman tidak menduga akan menyaksikan nestapa (Foto: Catherine Ivill - FIFA/Getty Images) 
Ketiga, karena Jerman lupa daratan. Tidak ada yang meragukan kapasitas Tim Panser sebagai Tim Spesialis Turnamen. Jerman rangking I FIFA sebelum ke Rusia. Mereka juga didapuk sebagai unggulan pertama. Betapa tidak, 10 laga kualifikasi disudahi dengan sepuluh kemenangan. Sayang nasibnya bapuk. Nahas. Sial.

Dan, ah, sudahlah.

Tidak ada yang kurang. Jerman sudah mengoleksi 4 gelar juara, yakni pada Piala Dunia 1954, 1974, 1990, dan 2014. Tim dari Eropa ini sekelas dengan Italia, sama-sama punya lambang empat bintang di dada kiri kostum timnas. Keduanya hanya kalah dari Brasil yang punya lima bintang.

Andaikan tidak gagal di babak final, koleksi Jerman bisa-bisa 8 gelar juara. Tim Panser maju ke babak final pada 1966, tetapi dikalahkan 2-4 oleh Inggris. Pada Piala Dunia 1982, Jerman melenggang ke final lagi. Namun, saat itu dihajar 1-3 oleh Italia.

Jerman kembali mencecap final pada Piala Dunia 1986. Kala itu digebuk 2-3 oleh Argentina. Pada Piala Dunia 2002, di Korsel-Jepang, Jerman tunduk 0-2 di babak final tatkala melawan Brasil.

Lupa daratan selalu berpotensi membuat kita lalai menemukan kelemahan dan kekurangan. Itulah yang ditunjukkan timnas Jerman kepada kita. Reaksi berlebihan saat membekuk Swedia berbuah karma. Kemenangan di menit-menit akhir langsung berbalas kekalahan di ujung laga. Ini gila. Sungguh-sungguh gila.

Itulah asal-muasal kecongkakan Jerman.
Lupa daratan selalu berpotensi membuat kita lalai menemukan kelemahan dan kekurangan.

Mario Gomez, Juru Kampanye Petahana Jerman, merenungi kekalahan (Foto: Alexander Hassenstein – FIFA/Getty Images)
Mario Gomez, Juru Kampanye Petahana Jerman, merenungi kekalahan (Foto: Alexander Hassenstein – FIFA/Getty Images) 

Keempat, Jerman terlalu percaya diri. Setelah menang pada laga kedua, Jerman larut dalam pesta pora dan terlalu bersenang-senang. Padahal pesan Bang Rhoma Irama sangat terang: jangan terlalu. 
 
Siapalah Korsel di mata Jerman. Hanya liliput. Hanya kurcaci di kaki raksasa. Prestasi terbaik pun sebatas juara ketiga di Piala Dunia 2002. Itu juga di kandang sendiri.

Sedangkan Jerman, ah, sungguh jauh panggang dari api. Gelar juara ketiga sudah langganan bagi Tim Panser. Empat kali. Masing-masing pada Piala Dunia 1934, 1970, 2006, dan 2010. Sungguh jauh bila dibanding-bandingkan dengan Korsel.

Akan tetapi, ada saatnya pejalan paling awas pun tersandung. Lalu terjengkang dan terjelepak.

Pada Piala Dunia 1934 di Italia, Jerman membekuk Austria dengan skors 3-2 untuk meraih juara tiga. Jerman membekuk Meksiko 1-0 di Piala Dunia 1970, di Meksiko, pada perebutan tempat ketiga.

Semasa menjadi tuan rumah pada Piala Dunia 2006, Jerman mengalahkan Portugal 3-1 dan meraih juara ketiga. Terakhir pada Piala Dunia 2010, Jerman kembali juara ketiga setelah mengalahkan Uruguay 3-2.

Terlalu percaya diri sering mengantar kita pada keangkuhan dan kecongkakan, hingga akhirnya berujung pada keterpurukan. Apa mau dikata, petahana dengan segudang prestasi itu kini jadi pecundang. Seperti Deddy Mizwar yang keok di Pilgub Jabar. Oh, maaf, ini sebatas tamsil. Pengibaratan saja.

Itulah sisik-melik keruntuhan petahana.
Ada saatnya pejalan paling awas pun tersandung. Lalu terjengkang dan terjelepak.
Pada akhirnya, kita memang perlu mengindahkan sejarah.

Gagap sejarah kadang memicu gagal paham. Akibatnya bisa memacu gugup nalar kita, sehingga kita keliru menatap dan menata masa depan.

Sang Petahana Jerman baru saja merasakan kegagalan mempertahankan posisi dan prestasi di Pilkada Rusia. Barangkali Neuer dan kolega sudah tiba di rumah, meneguk kopi, dan mereguk ludah ketika menonton tim-tim lain berlaga di babak gugur.

Son merayakan gol (Foto: Michael Regan - FIFA/FIFA via Getty Images)
Son merayakan gol (Foto: Michael Regan - FIFA/FIFA via Getty Images) 
Selaku penikmat sepak bola, kita cukup di rumah saja. Bisa juga ikut nobar di rumah tetangga atau di kedai kopi. Di mana pun itu, kita nikmati saja. Yang penting, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda. Kita sudah menyaksikan tuah Korea Selatan, selaku wakil Asia, yang menjungkalkan tim petahana.

Tinggal menunggu kandidat Asia lainnya, Samurai Biru, di laga terakhir. Semoga membanggakan Asia

Kandangrindu, 2018

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter