Wednesday, November 24, 2010

Kisruh FFI Dari Masa Ke Masa

Jakarta - Menteri Kebudayaan & Pariwisata Ir Jero Wacik menyatakan tidak terlalu merisaukan kisruh Festival Film Indonesia (FFI) 2010 akibat keputusan Komite Seleksi yang menyalahi pedoman FFI.

"FFI memang selalu ada masalah setiap kali penyelenggaraannya. Yang penting, keliruan itu sudah diperbaiki," kata menteri.

Pernyataan itu disampaikan Jero Wacik kepada wartawan Cek&Ricek yang mewancarainya.

"Perfilman kita memiliki potensi besar. Itu sebabnya, ketika saya ditunjuk Presiden SBY jadi menteri, film yang sudah lebih sepuluh tahun mati suri merupakan prioritas pertama yang saya benahi. Festival saya bangkitkan kembali. Hasilnya bisa kita lihat. Selain jumlah produksi, film Indonesia juga mengalami peningkatan pesat dalam hal kualitas," paparnya.

Menteri Jero Wacik memang pernah mengalami sendiri pahitnya ricuh FFI pada 2006. Waktu itu, generasi muda perfilman memprotes keputusan juri yang menobatkan 'Ekskul' sebagai Film Terbaik. Padahal film itu dituduh melakukan pelanggaran hak cipta music score. Klimaks dari aksi protes itu, puluhan sineas muda mengembalikan Piala Citra FFI ke kantor menteri.

Dalam wawancara kemarin, Jero Wacik mengenang kembali peristiwa pengembalian lambang supremasi tertinggi dunia film Indonesia itu. Meskipun kericuhan sering mewarnai, tapi pengembalian piala baru pertama kali itu terjadi dalam sejarah FFI.

"Bagaimanapun pahitnya saya menerima itu sebagai pelajaran berharga. Saya yang ingin membangkitkan film tapi malah menghadapi protes itu. Tapi tidak apa. Yang penting, kita semua sepakat melanjutkan perjuangan memajukan film Indonesia," ungkapnya.

Sejak 1955

Tahun lalu, ketika� tampil berbicara bersama Menbudpar dalam acara 'Kabinet Indonesia Bersatu Menjawab' di TVRI, saya ditanya pembawa acara soal kisruh yang selalu mewarnai penyelenggaraan FFI.

FFI pertama kali diprakarsai oleh Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI). Tujuannya untuk menjadi tolok-ukur peningkatan kualitas dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap film nasional.�

FFI pertama yang dibiayai dengan uang pribadi Pendiri dan Ketua PPFI Djamaluddin Malik diselenggarakan pada 1955. Tahun itu juga keriuhan langsung mewarnai keputusan Dewan Juri FFI yang memenangkan film 'Tarmina' karya sutradara Lilik Sudjio, mengalahkan 'Lewat Jam Malam' karya Usmar Ismail yang diunggulkan para kritikus film.

Kontroversi hasil putusan juri terulang pada FFI 1960. Film 'Pejoang' karya Usmar Ismail kembali kalah. Yang terpilih sebagai Film Terbaik adalah 'Turang' karya sutradara Bachtiar Siagian.

Merasa kecewa dengan dua kali hasil FFI, Usmar Ismail tidak lagi berminat menyertakan filmnya pada festival itu. Kegiatan itu pun terhenti hingga berakhirnya kekuasaan Presiden RI Bung Karno.

Setelah Orde Baru berkuasa, kegiatan penilaian film Indonesia kembali diselenggarakan pada 1967. Tapi tidak menggunakan label FFI, melainkan nama baru, Pekan Apresiasi Film Nasional. Saat itu tidak ada yang terpilih sebagai Film Terbaik. Namun, Misbach Jusa Biran yang menyutradarai "Di Bawah Cahaya Gemerlapan' terpilih sebagai Sutradara Terbaik.

Baru pada 1973 kegiatan FFI kembali dihidupkan. Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bergantian di kota kunci pemasaran film di Indonesia: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Makasar, Semarang, dan Yogyakarta. Dimulainya kegiatan itu seakan dimulainya kembali pula tradisi kericuhan dalam setiap kali penyelenggaraannya. Berikut beberapa kejadian menonjol.

Dewan Juri Pingsan

Pada FFI 1977 di Jakarta, masyarakat film diguncang oleh keputusan juri yang tidak menetapkan film terbaik tahun itu. Suasana di dalam gedung bioskop Djakarta Theater, tempat awarding, seperti mau pecah akibat pengumuman tersebut. Diawali dengan kejadian ketua dewan juri D. Djayakusumah yang jatuh pingsan saat membacakan putusannya. Pembacaan putusan dilanjutkan oleh Rosihan Anwar.

Bukan putusan juri itu semata yang membuat hampir semua orang film mengamuk. Tapi, terutama karena konsiderans juri yang dibacakan Rosihan menuding umumnya produser film Indonesia adalah "penjual mimpi". Pernyataan itu melukai hati kalangan film. Dari peristiwa itulah lahir ketentuan yang yang melarang juri membacakan� konsiderans secara lengkap di depan publik.

Juri hanya diperkenankan menyampaikan merit atau kelebihan film yang dipilih sebagai pemenang. Adapun hal lainnya yang dianggap sebagai rahasia penjurian� harus disimpan rapat-rapat. Baru dapat dibuka untuk bahan diskusi dan penelitian tiga tahun setelah itu. Namun, dalam praktiknya, rahasia penjurian dari masa ke masa� belum pernah dibuka hingga sekarang.

Pada FFI 1980 di Semarang putusan juri menominasikan film dan beberapa unsur film 'Yuyun, Pasien Rumah Sakit Jiwa' produksi PFN (sutradara Arifin C Noer) diprotes keras oleh rombongan wartawan film dari Jakarta. Wartawan menyampaikan mosi tidak percaya pada putusan juri atas dasar pelanggaran yang dilakukan panitia FFI memasukkan film itu dalam kategori film cerita panjang.

Secara material 'Yuyun' memang film cerita panjang, namun produksinya menggunakan izin film dokumenter. Pada masa itu, pembuatan film cerita panjang harus memperoleh rekomendasi dari pancatunggal perfilman. Yaitu lima organisasi perfilman: PPFI, KFT, Parfi, GPBSI, dan Gasfi. 'Yuyun' yang merupakan produksi perusahaan film negara tampaknya tak mengindahkan aturan tersebut.

Geger 'Yuyun' mengundang reaksi Menteri Penerangan Ali Murtopo. "FFI bukan festival aturan," tegasnya. Namun, tokoh film nasional Asrul Sani menyatakan, meskipun bukan festival aturan, namun festival di mana pun memiliki aturan. Seyogyanya semua pihak menghormati aturan yang ada. Lebih-lebih pembuatnya.

Film 'Yuyun' memang tidak terpilih sebagai film terbaik FFI 1980. Yang terpilih� adalah 'Perempuan dalam Pasungan' karya Ismail Soebardjo. Tapi, selang beberapa bulan setelah itu, seorang wartawan film membongkar fakta bahwa film itu jiplakan dari film Mandarin berjudul 'Perempuan Muda, 18 Tahun dalam Kurungan'. Pecahlah kembali kehebohan.

Heboh FFI 1984 di Yogyakarta lain lagi.Tidak ada film terbaik yang ditetapkan Dewan Juri waktu itu. Menpen Harmoko pun kecele ketika naik ke atas panggung untuk membacakan surat putusan juri mengenai film terbaik yang ternyata kosong. Padahal nominasinya ada. Seperti biasa, keputusan juri tidak bisa diganggu-gugat. Kasus itu melahirkan ketentuan baru yang isinya, juri wajib memilih satu yang terbaik jika dari unggulan yang telah ditetapkan.

Kasus Korupsi

Tidak selalu masalah penjurian yang memicu heboh dalam penyelenggaran FFI.� Pada FFI 1982 yang berlangsung di Balai Sidang, Senayan Jakarta nyaris ditutup Menpen Ali Murtopo malam itu juga. Gara-garanya, panitia menyuguhkan tarian erotis di atas panggung pada acara pembukaan. Ali Murtopo yang mengundang Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah merasa dipermalukan oleh pertunjukan itu.

Heboh di luar konteks penjurian juga mewarnai FFI 1976 di Bandung, FFI 1983 di Medan, dan FFI 2007 di Pekanbaru. Yang ini terkait kasus dugaan penyalahgunaan anggaran pemerintah daerah alias korupsi oleh panitia. Heboh korupsi di FFI 1976 di Bandung mencuat secara nasional karena digelindingkan oleh aktor terkenal Dicky Zulkarnaen. Meskipun, kasus itu tidak pernah terbukti secara hukum.

Saya hanya berbeda sedikit� dengan Pak Jero Wacik dalam memandang kekeliruan yang terjadi pada FFI 2010. Hemat saya, justru kejadian itu harus menjadi kerisauan kita bersama, supaya kita bisa melahirkan satu tekad kuat memperbaiki FFI di masa datang. Keseriusan juri menilai film sampai detail seperti yang ditunjukkan kepada film 'Sang Pencerah' harus sama kadarnya ketika melaksanakan amanat menjadi juri maupun panitia dalam melaksanakan tugas.

Ilham Bintang, Pemerhati film dan Pemimpin Redaksi Cek& Ricek (mmu/mmu) 

Source : Detik.Com

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter