Wednesday, June 20, 2012

Berburu Bacaan Anak Berbahasa Indonesia



Beberapa tahun belakangan ini, terbitan bacaan anak mulai meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Bacaan anak mulai banyak bemunculan. Bahkan ada penerbit yang tadinya hanya melirik buku pelajaran untuk dijual ke anak, sekarang mulai menelurkan buku bacaan anak baik cerita maupun pengetahuan. Tentu saja ini merupakan kabar yang cukup bagus. Bacaan anak tidak lagi hanya menjadi pelengkap pasar, melainkan menjadi segmen sendiri.

Perkembangan ini, tentu saja menguntungkan pihak perpustakaan, terutama perpustakaan sekolah. Kalau sebelumnya buku-buku anak berbahasa Indonesia di rak perpustakaan sekolah, dipenuhi buku pelajaran dan buku proyek Inpres. Kini pustakawan bisa menggantinya dengan buku-buku bacaan anak yang belakang ramai diterbitkan. Bukan terjemahan, bukan buku cetak ulang, melainkan karya-karya baru dari negeri sendiri. Tapi tentu saja ada syaratnya. Pertama, yang pasti ada anggaran untuk membeli. Kedua, buku-buku tersebut mudah dicari. Dan yang ketiga, buku-buku tersebut sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengulas permasalahan bacaan anak berbahasa Indonesia dalam kaitannya dengan syarat kedua dan ketiga. Saya akan melemparkan beberapa hal yang menjadi kendala saya sebagai pustakawan sekolah, dalam memenuhi tuntutan bacaan anak berbahasa Indonesia di sekolah tempat saya bekerja. Bisa jadi permasalahan ini terjadi juga di sekolah lain, atau mungkin ada permasalahan lain terjadi berkaitan dengan bacaan anak berbahasa Indonesia ini. Saya berharap tulisan ini bisa menjadi bahan pembuka diskusi yang menarik, bukan bahan referensi untuk dikutip. Mudah-mudahan dari diskusi nanti, berbagai alternatif solusi dapat ditemukan.

Pengadaan di Perpustakaan Sekolah

Melakukan pengadaan untuk perpustakaan sekolah tidaklah semudah yang terbayang, apalagi untuk SD ke bawah. Buku yang banyak terbit belum tentu bisa semua masuk ke perpustakaan sekolah. Karena lingkupnya yang dibatasi -cukup dalam sekolah tersebut, pengadaan koleksi perpustakaan pun harus disesuaikan dengan aktivitas sekolah. Berdasarkan pengalaman melakukan pengadaan, ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dalam memilih buku untuk perpustakaan sekolah:

1. Visi dan misi sekolah
2. Kebutuhan kurikulum.
3. Tingkat kemampuan anak.
4. Minat anak.
5. Nilai-nilai universal (untuk tidak menyebutnya moral)
6. Kebijakan pengadaan perpustakaan

Hal-hal tersebut di atas mempunyai penilaian sendiri di setiap sekolah. Yang hendak saya paparkan, mungkin sekelumit kendala yang saya alami selama melakukan pengadaan untuk bacaan anak berbahasa Indonesia. Saya paham apabila penerbit atau penulis, tentu tidak dapat mengakomodir semua pertimbangan tadi. Namun bagi saya hal ini penting untuk diperhatikan demi perkembangan bacaan anak berbahasa Indonesia itu sendiri.

Beberapa Masalah Dalam Pengadaan Bacaan Anak Berbahasa Indonesia

Selanjutnya saya akan memaparkan bagaimana pertimbangan-pertimbangan tersebut seringkali belum dapat dipenuhi oleh terbitan-terbitan berbahasa Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan antara lain:

1. Tema bacaan anak berbahasa Indonesia belum beragam.

Dari hasil observasi saya, kebanyakan buku bacaan anak berbahasa Indonesia masih didominasi oleh tema-tema yang sama. Tema-tema yang terkadang melupakan nuansa ke-Indonesianya. Nuansa yang seringkali terlihat ketika saya memasuki rak toko buku berbahasa Indonesia biasanya bernuansa tips sopan-santun, sektarian, berbau peri, atau ilmu alam. Tema-tema tersebut kadang tidak disesuaikan dengan lingkungan Indonesia.

Buku-buku cerita anak masih berkutat di seputar tips menjadi anak yang baik, bukan pemahaman mengenai konsep nilai universal. Akibatnya banyak cerita yang menjejalkan banyak nilai-nilai dalam satu cerita. Padahal nilai-nilai itu terkadang tidak ada hubungannya dengan maksud cerita. Tentu saja cerita ini akhirnya menjadi kehilangan fokus ceritanya. Bukan tidak mungkin justru anak tidak mendapat apa-apa dari cerita seperti ini.

Cerita bernuansa Islami juga belakangan banyak sekali bermunculan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan munculnya terbitan itu. Saya sepakat kalau ada penerbitan yang juga punya misi tertentu. Namun terkadang nuansa Islam ini muncul dalam buku-buku berlabel umum. Misalnya buku yang bertajuk Dongeng Balita (tanpa “Islami), ditengah percakapan muncul istilah “Subhanallah!” atau halamannya terdapat tulisan arab “Bismillahirahmanirahim”.

Begitu pula dengan buku science yang belakangan banyak muncul misalnya. Karena merupakan hasil terjemahan, dalam membahas cuaca seringkali tidak membahas iklim Indonesia sendiri. Padahal science nantinya digunakan siswa untuk memahami alam di sekitarnya.

Tren mengikuti bacaan asing juga tidak dapat dihindari. Misalnya munculnya cerita-cerita yang memakai peri. Padahal Indonesia tidak mengenal konsep peri sama sekali. Akibatnya banyak buku cerita anak yang menjadi ‘garing’ karena sekedar ikut-ikutan saja. Yang lebih aneh lagi adalah diterbitkannya buku terjemahan bertemakan “muffin”, yang jelas-jelas bukan makanan Indonesia. Mengapa tidak menerbitkan buku anak tentang nasi goreng misalnya yang lebih dikenal anak Indonesia pada umumnya.

Buku bacaan yang berisi ilmu sosial masih sangat jarang. Kalaupun ada, tema yang diangkat masih berkisah tentang keanekaragaman budaya Indonesia yang berkutat pada rumah, pakaian, dan tari-tarian adat. Tidak pernah saya melihat ada seri buku yang membahas cara hidup seorang anak di daerah tertentu. Atau bagaimana konsep keluarga di setiap daerah tertentu. Ini membuat pengertian “Bhineka Tunggal Ika” menjadi sebatas perbedaan secara artifisial.

2. Bacaan anak berbahasa Indonesia belum mempertimbangan kebutuhan teks anak

Masalah ini adalah masalah yang cukup membahayakan. Pasalnya, teks dalam buku sering tidak cocok dengan kemampuan membaca anak. Buku, bukan tidak menarik untuk dibaca, tetapi membuat anak frustasi dalam membaca. Misalnya saja buku-buku dongeng untuk TK yang teks-nya bisa mencapai 8 kalimat per halaman. Belum lagi dihitung kalimat berfrase. Akibatnya buku-buku tersebut hanya bisa dibaca oleh anak kelas 3 ke-atas. Belum lagi lay-out-nya yang terkadang membuat sakit mata atau mengganggu cara membaca.

Sulit sekali mencari buku anak yang teks-nya bisa dibaca oleh siswa yang baru mulai belajar membaca. Buku belajar membaca untuk anak yang baru belajar membaca hanya berkutat di pengejaan. Anak tidak dikenalkan teks dan konteksnya Di Indonesia juga belum ada penerbit yang menerbitkan buku-buku bertahap seperti Oxford Reading Tree, Step Into Reading, dan sebagainya. Buku-buku tersebut padahal sangat dibutuhkan oleh sekolah-sekolah.

Menyangkut dengan teks juga, banyak penulis juga yang masih sembarang memilih kata. Akibatnya teks hanya jadi sekedar alat bantu menyampaikan informasi ke anak. Kebutuhan anak agar bisa menikmati teks dengan bahasa yang indah tidak diperhatikan. Bunyi teks menjadi tidak enak untuk dibaca. Tentu saja ini sangat tidak membantu program read-aloud.

3. Unsur intrinsik yang tidak diperhatikan

Bagi sekolah, buku cerita anak tidak cukup sekedar buku bacaan yang punya nilai moral atau sekedar menghibur. Dari bacaan tersebut seharusnya anak-anak dikenalkan juga dengan dunia sastra (Indonesia). Perkenalan awal anak ke dunia sastra adalah unsur intrinsik dari sebuah cerita. Anak dikenalkan penokohan, alur, plot, dan setting yang bagus, dalam arti membangun logika cerita.
Beberapa penulis seringkali melupakan hal ini. Cerita ditulis dengan mementingkan bagian awal dan akhir saja, akibatnya cerita menjadi tidak utuh. Bahkan akibat tidak diperhatikannya unsur-unsur ini. Cerita yang tadinya mempunyai maksud yang baik, jadi terbalik. Misalnya saja sebuah buku yag menceritakan tentang rusa yang sombong karena tanduknya yang indah. Dia memamerkannya pada teman-temannya. Kemudian teman-temannya menjebak dia ke sarang tawon dan si rusa pun di kejar-kejar tawon. Lalu langsung saja penulis memberi kesimpulan “itulah akibat suka sombong”. Cerita yang maksudnya baik ini akhirnya menjadi terkesan sadis.

Dari permasalahan di atas, saya mempunyai asumsi bahwa pemilihan naskah untuk bacaan anak masih belum selektif. Buku bacaan anak belum membaca kebutuhan sekolah terhadap sebuah bacaan. Selain itu, sepertinya fungsi editor untuk bacaan anak juga belum maksimal. Editor masih sekedar mengedit teks tanpa memperhatikan konteks.

Hal lain yang nampaknya perlu diperhatikan dalam permasalahan bacaan anak adalah distribusi bacaan anak yang terkesan tidak serius. Mencari buku anak persis seperti memburu buku langka. Pustakawan harus selalu menyediakan uang untuk berjaga-jaga karena bisa jadi ke suatu tempat bertemu buku yang dibutuhkan. Tentu saja ini akan sangat mengganggu perencanaan anggaran pengadaan. Namun saya berharap semoga saja permasalahan ini hanya merupakan suatu fase dari perkembangan bacaan anak berbahasa Indonesia. Semoga saja…

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter