Monday, June 04, 2012

Pahlawan Sepakbola Itu Minta Salep Sebelum Meninggal




TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Dulu, ada sebuah patung pesepakbola sedang menggiring bola, berdiri kokoh di Jalan Karangrejo di pertigaan Jatingaleh, Semarang, Jawa Tengah, yang mengarah ke Stadion Jati Diri. 

Warga Semarang kerap menyebut patung itu sebagai patung Ribut Waidi, pencetak gol semata wayang di final SEA Games 1987, yang membawa Indonesia juara untuk kali pertama di ajang itu.

Namun, sejak 2008, patung pemain bola berambut ikal roboh dan tinggal kenangan. Kini, bukan hanya patungnya, sosok asli Ribut Waidi pun telah tutup usia pada Minggu (3/6/2012) sekitar pukul 05.30 WIB, di Rumah Sakit Tugurejo, Semarang.

Foto-foto masa keemasan Ribut Waidi saat membela tim nasional dan PSIS Semarang, dipasang di ruang tamu rumah legenda sepakbola, di Jalan Wahyu Asri Dalam IV B No 70, Ngaliyan, Semarang.

Foto saat bersama PSIS, bersalaman dengan Presiden Soeharto, serta bersama Timnas Indonesia, seolah menjadi lambang kebanggaan keluarga Ribut.

Berbanding terbalik dengan sosok dalam foto yang penuh senyum, suasana rumah mantan pemain timnas bernomor punggung 10, pecah oleh suara isak tangis istri almarhum, Nunik, di depan jenazah Ribut Waidi yang meninggal karena serangan jantung.

Tiga anaknya pun tidak kalah histeris dengan sang ibu. Anak pertama Widi, Nick Prakosa (25), tak kuasa menahan tangis. Begitu pula dua adiknya, Varadini Ribut Waidi (20) dan Sonia Ribut Waidi (15).

Ribut Waidi adalah seorang legenda sepakbola Indonesia. Pria kelahiran  Trangkil, Pati, Jawa Tengah pada 5 Desember 1962, adalah pencetak satu-satunya gol penentu kemenangan Indonesia atas Malaysia pada SEA Games 1987.

Ribut membobol gawang Malaysia setelah mengecoh dan melewati barisan pertahanan negeri Upin-Ipin. Gol di perpanjangan waktu pertama itulah yang membawa Indonesia merebut emas pertama dalam pertandingan sepakbola antara negara sejak 1977.

Ribut juga merupakan pemain terbaik yang turut membawa PSIS Semarang menjadi juara pertama liga perserikatan di tahun yang sama.

Karier sepakbola ribut malang melintang hingga 1990. Ribut selalu mengenakan nomor punggung 10. Selain berprofesi sebagai pesepakbola, sejak 1984 ribut juga bekerja sebagai pegawai Pertamina. Terakhir, ia berprofesi sebagai asisten distribusi LPG pertamina di Gudang Tanah Mas, Semarang.

"Bapak orangnya bertanggung jawab," kata anak sulung almarhum, Widi, ketika pulang dari makam tanpa alas kaki, Minggu siang.

Sang istri tidak berhenti menangis sejak awal pemakaman hingga pulang. Teman-teman dekat dan tetangga Nunik pun bergantian memapahnya, agar kuat berdiri. Lantunan aba-aba istigfar pun mereka bisikkan ke telinga Nunik, agar bisa menerima kepergian sang suami.

Begitu pula anak-anak Ribut, mereka memilih bertahan dan melantunkan Yasin, meski makam ayahnya yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya sudah sepi.

Bahkan, anak keduanya, Dini, sempat menolak ketika dibujuk pulang ke rumah. Ia memilih melantunkan doa untuk ayah tercinta.

Suprapto, tetangga Ribut mengatakan, kepergian almarhum sangat mendadak. Awalnya, pada Sabtu (2/6/2012) malam, Ribut mengeluh sakit dan menyuruh anaknya membeli salep.

Minggu dini hari, kondisi Ribut bertambah parah. Keluarga dan tetangga pun langsung berinisiatif membawanya ke rumah sakit, masih dengan bercelana pendek.

Dalam perjalanan, napas Ribut berhenti. Keluarga langsung menuju RS Tugurejo. Di UGD, Ribut dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Dalam rekam medis, Ribut pernah mengalami stroke.

"Padahal, hari Sabtu almarhum masih melatih futsal di SMA 7," kata rekan seperjuangan almarhum, Sudaryanto.

Mantan gelandang tengah PSIS Semarang mengaku sangat kehilangan sosok Ribut, baik saat di lapangan maupun di kantor.

Sudaryanto melihat tipikal permainan Ribut khas dribel dan sprint, mirip Andik Vermansyah serta Okto Maniani.

Yang membuatnya kangen adalah tipikal Ribut yang spontan dan kadang meledak-meledak. Jika tidak setuju dengan perintah pelatih, tak jarang Ribut selalu bersitegang, bahkan beradu pendapat dengan pelatih. Apalagi, jika ia merasa dirinya benar dan pelatih salah.

Jika hal itu terjadi, maka Sudaryanto akan turun tangan bersama Yanche. Dengan tipikal yang lebih sabar, ia dan Yanche berusaha mengelus-elus Ribut.

"Saya pernah bersama almarhum sejak 1984 sampai 1990," ungkapnya.

Sebelum bermain bersama di Tim Mahesajenar Semarang, Sudaryanto pernah bermain melawan Ribut dengan tim yang berbeda.

Sebelum 1984, ia bermain di PSIM Yogyakarta, sedangkan Ribut di Persiku Kudus. Saat itu, pernah ada keributan, termasuk Ribut dan Sudaryanto yang turut serta.

Saat bertemu dengannya di Semarang, Ribut rupanya masih ingat, tapi tidak mempermasalahkannya. Hal-hal ringan seperti itulah yang masih membekas dalam ingatan Sudaryanto.

Pemakaman Ribut Waidi berlangsung khidmat. Ratusan pelayat datang bergantian dan men-salat-kannya. Selamat Jalan Ribut Waidi. (*)

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter