Oleh Rini Utami
Berita pada Minggu (6/2) pagi sungguh merisaukan. Tiga orang yang diidentifikasi Jamaat Ahmadiyah tewas dan puluhan warga lainnya luka-luka.
Tak hanya itu, beberapa kendaraan bermotor dan mobil serta rumah pun turut hancur dihajar massa di Desa Cipeundeuy, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Kisah Jemaat Ahmadiyah yang masuk Indonesia pada 1924 memang tidak pernah lepas dari perburuan dan kekerasan.
Sudah puluhan mesjid, mushola milik Jemaat Ahmadiyah yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, disegel, dirusak, bahkan dibakar massa karena ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu dianggap menyimpang dari Islam.
Menyusul aksi massa di Cikeusik itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam aksi tersebut dan menginstruksikan aparat keamanan untuk mencari pelaku dan menindaknya secara tegas sesuai prosedur hukum berlaku.
Pemerintah pun pada malam harinya langsung menggelar rapat koordinasi dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.
Inti dari rapat yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Jaksa Agung dan Kepala Polri Jenderal Pol Timur Pradopo adalah mengevaluasi pelaksanaan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung yang disepakati pada 2008.
"Bersamaan dengan itu, kami meminta semua pihak termasuk komunitas Ahmadiyah untuk kembali ke SKB tiga menteri," kata Djoko Suyanto.
Namun, hanya selang satu hari terjadi kerusuhan di Pandeglang, kerusuhan anarkis juga terjadi di Kota Temanggung, Jawa Tengah, yang dipicu pembacaan tuntutan kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri setempat.
Akibatnya tiga fasilitas peribadatan dan fasilitas umum lainnya rusak.
Meski tidak ada korban jiwa, namun aksi itu meneguhkan kembali kerusuhan berbau agama yang telah beberapa kali terjadi di negeri pluralis ini.
Sekali lagi, atas kejadian itu pemerintah mengecam dan mengutuk aksi massa yang ditengarai digerakkan kelompok tertentu tersebut.
Indonesia memang serba beragam. Negeri yang terbentuk dari sekitar 13.699 pulau menjadi tempat bernaung sekitar 220 juta jiwa dengan beragam latar belakang suku, bahasa, agama dan keyakinan.
Keragaman itu mau tidak mau menimbulkan konsekuensi, salah satunya makin menguatnya simbol-simbol identitas sosial masyarakat, yang cenderung berujud pada konflik sosial.
Tegas
Dalam situasi yang serba mengkhawatirkan saat ini, intervensi pemerintah pusat kerap tidak memiliki kekuatan memaksa untuk menyelesaikan masalah.
Pemerintah cenderung tidak tegas menghadapi berbagai kekisruhan yang terjadi antarkelompok sesama anak bangsa.
Tak pelak Indonesia bagai kaca yang retak. Masyarakat makin sulit melihat negara sebagai simbol persatuan.
Melemahnya kekuatan negara, perangkat simbol-simbol kenegaraan hampir tidak mempunyai kekuatan apa-apa terhadap warganya.
Maman Imanulhaq Faqieh, tokoh muda Nahdlatul Ulama mengatakan, tidak seharusnya pemerintah sekadar mengecam dan mengutuk berbagai aksi anarkis berbau agama saat ini.
"Pemerintah harus tegas, rakyat sudah cukup bersabar," katanya.
Maman menegaskan, Indonesia yang plural tidak akan hancur oleh beragam bencana alam, tidak akan hancur oleh keragaman etnis, agama, suku dan bahasa.
"Bangsa ini hanya hancur oleh rendahnya moralitas. Tidak ada yang salah dengan keberagaman, kebhinnekaan, yang dimiliki bangsa ini. Kekerasan itu masalah moralitas," tuturnya.
Hal senada diungkapkan tokoh muda Katolik Sebastian Salang, yang mengatakan, "Perlu ada efek jera. Pemerintah harus tegas kalau tidak, ada semacam legitimasi terhadap kekerasan,".
Ia menuturkan, Indonesia dengan beragam suku, agama, bahasa memiliki kerarifan lokal yang menjadi perekat persatuan , solidaritas sesama anak bangsa, bangsa yang besar.
"Keberagaman bukan alasan untuk kita saling membenci, saling menyakiti. Untuk itu pemerintah, sebagai simbol pemersatu harus tegas," kata Sebastian.
Berpikir Ulang
Kebhinnekaan, keberagaman, adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah bangsa bernama Indonesia.
Pluralisme adalah latar belakang, wajah dan sosok masyarakat Indonesia.
Namun, setelah melalui pergulatan panjang dan mendalam, setelah krisis demi krisis dilalui, masyarakat Indonesia yang majemuk sepakat untuk berikrar menjadi bangsa yang satu, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Jadi keragaman itu jangan diutak-atik. Justru keberagaman, kemajemukan itu sarana kita untuk saling mengenal, saling memahami satu sama lain, sehingga bangsa ini menjadi semakin besar dan kuat. Di sini peran pemerintah sangat menentukan," ujar Maman.
Karena itu, sudah saatnya bangsa ini kembali merenung, melakukan refleksi dan aksi nyata, kritis serta aktual atas beragam konflik sosial yang berujung anarkis, terlebih aksi yang mengatasnamakan agama, dan simbol-simbol identitas sosial lainnya.
Inilah saat pemimpin dan seluruh komponen bangsa ini menyegarkan kembali pemahaman, kesadaran dan hasrat bersama untuk bersatu menjadi bangsa yang satu dengan keniscayaan kebhinnekaan yang menyertainya.
Karena hanya itu, pemimpin, masyarakat dan seluruh komponen bangsa ini bisa kembali menyadari, memahami sendi-sendi eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang majemuk namun bersatu, religius namun berwawasan kebangsaan.
Bagaimanapun sebagai bangsa bermasyarakat majemuk, kesatuan Indonesia berada dalam keanekaragaman, persatuan kita berada dalam perbedaan.
Karena itu, hendaklah seluruh komponen bangsa ini utamanya pemerintah, sadar, untuk mengolah kelebihan dan keunggulan kemajemukan masyarakat bukan justru menjadikan perbedaan itu sesuatu yang melemahkan bangsa ini.
Jangan biarkan Indonesia yang beragam, yang majemuk, menjadi sosok negeri yang sarat konflik identitas.
Sumber : ANT
No comments:
Post a Comment