Saturday, February 26, 2011

Tingkatan Bahasa Dan Pendidikan Karakter

Jakarta - Mencontoh politik bahasa di Indonesia yang menempatkan masing-masing bahasa yang digunakan di Indonesia sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing, maka bahasa alus bahasa Sasak dapat juga digunakan sebagai salah satu media pendidikan karakter anak-anak usia sekolah. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa masing-masing tingkatan tutur dalam bahasa Sasak memiliki fungsi dan tujuan serta nilai kearifan budaya lokal tertentu dalam interaksi sosial masyarakat yang homogen.

Bahasa Alus bahasa Sasak sebagai salah satu bentuk tindak tutur mengedepankan penghormatan kepada orang lain. Konsep tersebut tidak lagi dikaitkan dengan paham feodal, tetapi merupakan media berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat yang homogen. Dalam bahasa Sasak, terdapat sistem tindak tutur yang terbagi menjadi 5 tingkatan (Husnan, dkk,. 2007 dan 2008). Masing-masing tingkatan memiliki fungsi dan tujuan tertentu yang berkaitan dengan konsep penghormatan pada orang lain.

Hampir sama dengan bahasa lain dengan tingkatan bahasasa memiliki tingkatan kasar. Tingkatan ini sangat jarang digunakan oleh penutur bahasa Sasak karena hanya dituturkan jika mereka merasa marah atau tersinggung terhadap seseorang.

Bentuk akrab merupakan tingkatan yang paling lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari Etnis Sasak. Bentuk ini merupakan bentuk akrab. Kosakata yang digunakan tergolong biasa. Bentuk ini biasanya digunakan oleh penutur yang memiliki keakraban atau sebaya. Bentuk ini juga digunakan oleh penutur yang memiliki usia berbeda atau ambil contoh antara seorang yang tergolong dewasa dan seorang remaja jika mereka memiliki keakraban. Dengan kata lain, penggunaan bentuk ini menandakan dekatnya hubungan antara orang yang terlibat dalam sebuah interaksi komunikasi sosial. Bentuk ini berfungsi mengakrabkan penutur-penutur yang terlibat di dalamnya. Penggunaan bentuk ini bertujuan mereduksi jarak sosial dan mengajak penutur pada hubungan sosial yang lebih dekat.

Bentuk ketiga merupakan merupakan bentuk alus biasa. Bentuk ini lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh Etnis Sasak. Bentuk ini biasanya digunakan oleh penutur dengan usia yang sebaya atau tidak sebaya. Fungsi bentuk ini adalah untuk memperhalus tuturan yang diujarkan. Tujuan penggunaan tuturan ini tidak lain adalah untuk menghormati lawan bicara baik yang sebaya atau lebih tua. Penggunaan bentuk ini secara psikologis menyentuh lawan bicara dan akan mendapatkan respon dengan bentuk yang sama, hormat.

Bentuk keempat merupakan bentuk alus utama. Bentuk hampir sama dengan bentuk ketiga. Yang membedakan adalah kosakata yang digunakan dipandang lebih hormat. Bentuk ini biasanya digunakan oleh penutur yang lebih muda kepada penutur yang lebih tua atau orang-orang yang dalam masyaraka patut dihormati seperti tuan guru (ustadz). Penggunaan bentuk ini bertujuan untuk memperhalus ujaran dan menghormati lawan bicara. Sekarang bentuk ini dalam masyarakat Sasak mendapatkan respon bentuk biasa atau akrab dan sering dalam bentuk alus biase.

Bentuk yang teakhir adalah bentuk alus enduk (Husnan, dkk., 2007, 2008, dan 2010). Bentuk ini memiliki konsep yang berbeda dengan tingkatan sebelumnya. Bentuk ini tidak memiliki kosakata khusus, tapi mengambil kosakata dari tingkatan lain seperti tingkatan biasa dan alus biasa, dan terkadang dari tingkatan kasar. Bentuk ini berfungsi merendahkan diri dan menghormati lawan bicara. Hal ini bisa terjadi mengingat dalam budaya Sasak seseorang tidak boleh meninggikan diri atau mengangkat diri sendiri atau menyombongkan diri. Konsep meninggikan diri dalam budaya Sasak termasuk tabu. Bentuk alus enduk oleh Etnis Sasak digunakan oleh semua tingkatan dan semua umur baik yang sebaya ataupun tidak, baik tuturan yang diucapkan oleh penutur muda ataupun tua.

Oleh karena itu, pendidikan kebahasaan dapat juga digunakan sebagai salah satu media untuk memberikan pendidikan karakter kepada anak-anak usia sekolah khususnya mengenai saling menghormati antarsesama manusia dalam komunitas yang homogen. Hidayat. dkk., (2009) membuktikan bahwa terdapat hubungan paralel antara penguasaan bahasa alus pada beberapa daerah pengamatan (komunitas Sasak) dengan perilaku penuturnya. lebih jauh, perilaku negatif yang cenderung mengarah pada konflik horizontal baik dari segi intensitas dan kualitas pada daerah tersebut banyak ditentukan oleh tingkat pemasyarakatan bahasa Sasak alus.

Rujukan:
Hidayat, Tony Syamsul, dkk., 2009. "Etnis Sasak yang Tercermin dalam Bahasanya." Mataram: Kantor Bahasa Provinsi NTB
Husnan, L. Erwan, dkk., 2007. "Distribusi dan Pemetaan Kosakata Halus Bahasa Sasak." Mataram: Kantor Bahasa Provinsi NTB.
Husnan, L. Erwan, dkk., 2008. "Kekerabatan Bahasa Daerah: Tanah Asal dan Arah Migrasi Penutur Kosakata Halus Bahasa Sasak." Mataram: Kantor Bahasa Provinsi NTB
Husnan, L. Erwan, dkk., 2010. "Stratifikasi Sosial Etnis Sasak yag Tercermin dalam Bahasanya." Mataram: Kantor Bahasa Provinsi NTB

*) L. Erwan Husnan bekerja di Kantor Bahasa Provinsi NTB, tinggal di Mataram.

Source : Detik News

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter