Sunday, October 05, 2014

Mati Kreatif Cara Kampanye Jokowi

Mati kreatif cara kampanye Jokowi
Sampul buku kampanye kreatif Jokowi berjudul "demokreatif: Kisah Blusukan Jokowi". (www.twitter.com)
Jakarta (ANTARA News) - Masih ingat sejumlah poster kampanyenya pasangan nomor dua di Pilpres 2014 yang tampilannya mirip sampul komik Tin Tin?

Orang-orang kreatif pembuat poster-poster yang beredar luas di media sosial dan cetakan itu menjadikan latar belakang kegiatan mereka mendukung pasangan Jokowi-JK sebagai cerita dalam sebuah buku berjudul "demokreatif: Kisah Blusukan Jokowi".

Sesuai dengan judulnya, buku ini memang mengajak orang untuk kreatif. Bahkan bukan kreatif sembarang kreatif, melainkan kreatif dalam masa kampanye, yaitu masa ketika cacian, fitnah, dan kritik seolah tak ada bedanya.

Mereka memperlihatkan bahwa akal sehat tetap bisa dipertahankan dan kreativitas tetap bisa diejawantahkan ke dalam karya yang indah tanpa perlu ikut-ikutan menjadi bagian "busuk" kampanye. Padahal, ketika mereka diajak untuk terlibat dalam kampanye membantu Jokowi, suasana caci-maki, kampanya hitam, kalimat jahat, informasi yang tak terjamin kebenarannya sudah bertebaran.

Jadilah buku itu sebagai arena buka-bukaan dapur oleh satu kelompok relawan yang bekerja secara "pro bono" alias gratis.

Hari Prast, Yoga Adhitrisna, dan Satriyo Wibowo, penulis buku tersebut, merupakan satu kelompok dari begitu banyak kelompok relawan pendukung Jkw-JK yang menyiapkan berbagai materi kampanye tanpa dibayar.

Menurut Yoga, yang bercerita di bagian awal buku, mereka baru memiliki kesempatan luas bercerita dan berbagi melalui buku setelah pilpres selesai. Mereka sebenarnya telah banyak diwawancara media massa ketika kampanye berlangsung, namun ketika itu tak banyak yang bisa diungkap demi tidak terjebak pada sesuatu yang bisa merugikan pasangan yang didukung mereka.

Buku yang mulai beredar di toko buku pada pertengahan September itu mengungkap berbagai aspek bagaimana orang-orang awam politik itu dalam hitungan beberapa saat saja bisa memutuskan ikutan berkampanye, ikut dalam derasnya pesta demokrasi, yang bagi mereka harus meriah dan penuh kegembiraan.

Hari Pras dan kawan-kawan merupakan orang periklanan yang menjadi relawan karena telepon seorang kawan yang lebih dulu jadi relawan. Proses telepon ini perlu diungkapkan, karena sisi spontanitas mereka untuk bekerja secara suka-rela membantu kampanye memberikan nuansa berbeda.

Dialog lewat telepon itu menjadi pembuka cerita yang ditulis Yoga. Telepon dari Sekjen Jo-Man, kelompok relawan yang sudah aktif lebih dulu, itu intinya memberi penjelasan sejumlah prinsip para relawan.

Prinsip

Ada beberapa hal prinsip yang dikedepankan saat mereka berdialog. Prinsip itu adalah relawan bekerja secara gratis; yang dibutuhkan adalah materi kampanye populer, ringan, dan keren; ditujukan agar muncul jokowimania layaknya beatlemania; relawan tak perlu menjelaskan visi misi; relawan sepakat tak bikin kampanye hitam walau ketika itu kampanye negatif mengenai Jokowi sudah banyak beredar.

Pesan yang bermula dari telepon pada 15 Mei itu pula yang kemudian diteruskan Yoga ke sejumlah sejawatnya di tempat dia mencari nafkah, agen periklanan Berakar Komunikasi, dan dia mendapat sejumlah kawan yang seide.

Tidak sampai tiga bulan hingga hari pencoblosan tiba, kelompok relawan itu menghasilkan sejumlah poster hasil diskusi dengan banyak orang dari kelompok relawan lain. Hasil kerja mereka juga kemudian diikuti dan bergabung dengan kreasi dari kelompok lain, mulai lirik lagu, video, hingga jargon "I Stand on The Right Side" yang terkenal itu. Banyak dari kawan berdiskusi mereka yang belum pernah bertatap muka bahkan hingga buku terbitan KPG itu selesai ditulis, begitu kata Yoga.

Maka kemudian beredar poster "Kisah Blusukan Jokowi di Yogya" yang bergambar Jokowi sedang berada di tengah keramaian khas kota itu, hingga "Kisah Blusukan Jokowi di Papua" yang menggambarkan Jokowi bermain bola bersama anak-anak. Ada juga "Jokowi di Jawa Timur" yang menggambarkan sang kandidat sedang menikmati lautan pasir Bromo dengan berkuda layaknya wisatawan. Atau "Jokowi di Makassar" yang menggambarkan tokoh itu sedang ngobrol santai sambil ngopi di pantai bersama dua penduduk.

Poster-poster itu digambar dengan warna cerah dan memasang gambar yang menjadi simbol khas daerah yang dikunjungi Jokowi. Ketika di Yogya, ada gambar tugu, becak, dan sepeda. Ketika di Makassar ada pantai dan phinisi. Jawa Timur diwakili oleh alam Bromo. Hasil proses kreatif itu bebas dipasang di berbagai tempat dan media. Gratis asal tidak untuk dikomersilkan. Ajakan yang kemudian ditanggapi sekian banyak orang, misalnya memajang poster kreatif itu di media sosial.

Buku yang dijual dengan harga Rp85.000 itu juga membahas perdebatan khas orang-orang kreatif ketika mereka berproduksi, seperti ketika terjadi beda persepsi dan keinginan dari orang-orang yang terlibat di kelompok relawan kala menggambarkan Jokowi-JK blusukan di Sumatera Utara.

Ada usul, kritik, dan pertanyaan mengenai gambar Jokowi-JK dalam kisah blusukan di Sumatera Utara dari beberapa orang ketika Hari Pras, sang eksekutor poster, sudah siap mengedarkannya. Gambar Jokowi-JK yang mengendari mobil terbuka di perbukitan di dekat sebuah danau itu dinilai belum memberikan nuansa Sumatera Utara. Tak ada gambar khas Sumatera Utara di sana layaknya becak dan tugu dalam poster Jokowi di Yogya atau phinisi saat Jokowi di Makassar.

Sang kreator poster itu bersikeras tak mau mengubah dan menolak mentah-mentah terhadap usul penambahan gambar rumah adat di poster itu. Namun akhirnya setuju ketika muncul usul agar ditambahi nomor polisi BK 2 di belakang mobil yang dikendarai pasangan nomor dua itu.

Dikutipkan di sini untuk menggambar betapa kreativitas orang-orang kreatif itu dipenuhi dialog dan diskusi, bukan perintah dan komando.

...."Hari ngambek nih....ngotot gak mau revisi." Istri saya lalu memberi usulan, "Gimana kalau plat mobilnya diganti BK?" Wah usulan bagus, langsung saya sampaikan lewat email. "Oke Har, bagaimana kalau mobilnya dikasi plat Medan. Pakai BK 2?" Dijawab Hari, "Kalau ganti plat, aku setuju!" Oke problems solved. Revisinya simpel. Hari pun anteng. Eko biarin aja, orangnya no hard feeling kok. Biasa digituin Hari. :) (hal 112).

Banyak dialog akrab dan mencerminkan kedekatan perkawanan namun intens adu pendapat seperti itu dalam buku tersebut.

Buku setebal 196 halaman itu juga banyak bercerita latar belakang yang membuat sejumlah orang periklanan yang awam politik tersebut mau terjun dalam kampanye.

Mereka menyebut, kebiasaan orang berkampanye dengan memasang foto diri dengan tampilan seadanya, lalu mencetaknya di stiker atau menempelkan foto mereka di pohon dan dinding merupakan tindakan sia-sia. Bahkan foto-foto orang tak dikenal yang menyuruh orang memilih mereka itu hanya membuat sampah dan mengotori kota.

Bagi mereka, kebiasaan berkampanye dalam musim pemilihan anggota dewan itu mesti diubah dengan sesuatu yang kreatif. Mereka menyebut, tampilan kreatif dalam berkampanye sebenarnya sudah dimulai ketika sejumlah meme mendukung Jokowi-Ahok dalam saat pemilihan gubernur, termasuk simbol kotak-kotak yang begitu kuat sebagai sebuah lambang.

Semua itu kemudian berbaur dengan semangat mereka menjadikan pesta demokrasi sebagai pesta sesungguhnya. Sehingga kreativitas mereka penuh keceriaan dan kegembiraan di tengah serangan kampanye hitam.

"Pesta adalah sebuah perayaan, festival, penuh suka ria. Pesta harus menyenangkan, kalau tidak bukan pesta namanya. Dengan demikian Pesta Demokrasi haruslah juga sebuah perayaan, festival yang menyenangkan, dan penuh kesuka-riaan," demikian kredo mereka di awal buku.

Itu menjadi nafas mereka saat mereka bahkan turut menjadi juru kampanya dadakan. Maka hasil kreasi mereka tak ada yang menyerang pihak "lawan".

Tapi, berlebihankah jika disebut bahwa laku mereka masih menjadi hal aneh bahkan setelah pemilihan presiden selesai? Semangat suka ria merayakan pesta demokrasi mereka, pada kenyataannya, masih menjadi sisi lain di tengah hiruk-pikuk keberpihakkan dua kelompok besar di pentas politik nasional saat ini yang masih diwarnai urang wajah tegang.

Pada sisi lain, jika tak ditanggapi sebagai karya "pihak sebelah sana" oleh orang-orang yang merasa sebagai pendukung "kelompok sini", buku bernuansa riang gembira yang sampulnya penuh warna itu bisa jadi alat belajar bersama.

Atau, yang merasa sebagai kelompok berbeda, bolehlah sekadar mengintip lalu mencari sisi kreatif lain untuk penguatan cara berdemokrasi.

Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © 2014

Source : AntaraNews.Com

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter