Thursday, March 17, 2011

Film Pendek, Corong Indonesia Di Dunia

SURABAYA, KOMPAS.com--"Film maker" indie muda Surabaya, Arik Rahman, menegaskan bahwa film pendek telah menjadi corong Indonesia di berbagai forum dunia.

"Itu karena banyak film pendek yang dibikin para film maker indie yang mendapat perhatian festival di forum internasional, meski tidak bisa masuk gedung-gedung bioskop," katanya di Surabaya, Kamis.

Pemilik "Warung Buku" dan "Film Tang Lebun" itu mengemukakan hal itu dalam orasi "Satu7an" yang digelar Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya setiap tanggal 17 pada setiap bulan.

Menurut dia, film pendek Indonesia bergerak di luar industri film yang ada, karena pergerakan film pendek Indonesia dianggap tidak menarik, namun berbagai festival di luar negeri justru memberi perhatian dan bahkan penghargaan.

"Jadi, Film Pendek Indonesia dapat dikatakan telah menjadi sebuah corong bagi Film Indonesia atau film-film ’mainstream’ yang kurang berbicara di forum internasional," katanya.

Kini, perkembangan teknologi yang ada mendorong produksi film pendek menjadi sangat luas, tak terbatas, dan sangat memasyarakat, terutama di kalangan anak muda.

"Sayangnya, produksi film pendek Indonesia saat ini masih tidak dapat lepas dari permasalahan distribusinya, baik bagi publik umum maupun bagi mereka yang tertarik untuk memproduksinya," katanya.

Bagi mereka, akses untuk dapat menonton film pendek di Indonesia masih terbatas karena berkaitan dengan akses informasi mengenai jalur-jalur promosi maupun distribusi yang selain festival.

"Padahal, permasalahan distribusi ini memiliki peranan penting bagi keberlangsungan produksi film pendek itu sendiri. Namun, anak-anak muda pecinta film-film pendek ini menciptakan jalur distribusinya sendiri," katanya.

Biasanya "film maker" bertindak sebagai pemilik dan distributor dari filmnya. Setelah film pendek selesai diproduksi, maka "film maker" mengirimkan ke ajang festival-festival film nasional maupun internasional.

"Kalau di Indonesia sendiri sudah mulai banyak festival di berbagai kota di Pulau Jawa, Sumatra, dan bahkan di Kalimantan. Ada juga para film maker yang membuat VCD atau DVD untuk diperjualbelikan. Selain itu, banyak juga yang menyebarkan di situs-situs internet," katanya.

Hal itu dipilih, karena jalur distribusi yang resmi bagi publik umum (bioskop) belum bisa digunakan film pendek, sebab format pemutarannya berupa film 35 mm.

"Itu kecuali empat film pendek yang disponsori produk sabun yang berhasil masuk jaringan bioskop 21 dan delapan film pendek yang disponsori produk rokok yang tiap tahun ditayangkan di TV, karena sponsor mendanai dari produksi hingga pemutaran di bioskop dan TV," katanya.

Tapi, kini telah hadir sebuah jaringan bioskop baru "Blitzmegaplex" yang memungkinkan untuk memutarkan film dalam format digital di luar format film 35 mm, walaupun masih terbatas di Jakarta dan Bandung.

Selain itu, gerakan film pendek juga memiliki "bioskop alternatif" seperti Kineforum di Taman Ismail Marzuki (TIM)Jakarta, Kineruku di Bandung, Kinoki di Yogyakarta, C2O dan Tang Lebun di Surabaya, dan Minikino di Bali.

"Tempat-tempat itu khusus memutar film-film alternatif dari film standar yang diputar di jalur utama film. Karena pemutaran di sana bersifat rutin, pasti membutuhkan banyak program film dan ini membuka peluang bagi film pendek," katanya.

Selain itu, komunitas film pendek telah tumbuh subur sejak tahun 2000 yang mencoba membuat secara rutin pemutaran film pendek (sebulan sekali) dan terdapat pula komunitas film yang tidak terlalu rutin memutar film, namun mreka cukup aktif mendukung produksi dan pemutaran di kota masing-masing.

"Muncul pula kine klub-kine klub di berbagai universitas hampir di seluruh Indonesia. Siklus pergerakan itu banyak berpengaruh pada pertumbuhan film berikutnya, baik ide, visi, metode penciptaan, teknis hingga jangkauan masuk dalam sistem industri," katanya.

Source : Kompas.Com

No comments:

Post a Comment

FanPage Taste Of Knowledge

Popular Posts

My Twitter