Ilustrasi: Kian menurunnya wawasan kebangsaan generasi muda terbukti dengan masih banyaknya pertikaian antar kampung, perang saudara, tingkah laku suporter bola yang anarki, dan belakangan munculnya kekerasan berkedok agama yang melibatkan anak muda.
LAMONGAN, KOMPAS.com - Saat ini wawasan kebangsaan dinilai menurun dan generasi muda kian mengalami krisis identitas. Perkembangan generasi muda dirasakan cukup mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perhatian serius.
Hal itu terangkum dalam Pemantaban Wawasan Kesatuan Kebangsaan bagi Masyarakat Jawa Timur di Lamongan, Selasa (8/3/2011), yang diikuti organisasi kepemudaan dan Organisasi Siswa Intra Sekolah se-Lamongan, Tuban, dan Gresik. Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bagong Suyanto, saat menjadi pembicara memaparkan, di satu sisi globalisasi telah melahirkan berbagai perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, karena menawarkan contoh-contoh kemajuan dan alternatif baru. Namun, hasil globalisasi seringkali kurang menguntungkan negara berkembang. Salah satu kelompok yang rentan ikut terbawa arus adalah generasi muda.
Koordinator Bidang Kemasyarakatan Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur tersebut menuturkan dalam konteks relasi yang tidak seimbang antara negara maju dan negara sedang berkembang. Akibatnya, hasil globalisasi pun sering tidak menguntungkan negara sedang berkembang.
Terkait rentannya generasi muda terhadap pengaruh berubahnya jaman itu, Bagong menyebut hal itu terjadi tak lain karena pemuda memiliki karakteristik unik, yakni labil, sedang dalam taraf mencari identitas, serta mengalami masa transisi. Hal itu membuat mereka cenderung tidak mampu menahan godaan dari proses perubahan global.
Namun, Bagong berharap semua pihak terutama orang tua dan guru tidak cepat menghakimi remaja dengan perilaku menyimpang sebagai anak nakal. Untuk memahami remaja yang dibutuhkan adalah kesediaan orang tua dan guru untuk berempati dan mengerti arti sebetulnya keinginan, harapan dan dunia kehidupan mereka.
"Tanpa adanya pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan remaja, niscaya yang dilakukan hanyalah tindakan menghakimi atau sekedar menyalahkan mereka sebagai anak nakal yang tak patuh pada nasihat orang tua," kata Bagong.
Dia menyebutkan, di berbagai kota besar sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa ulah remaja semakin mencemaskan masyarakat. Kenakalan remaja kini tak lagi sekedar aktivitas seperti membolos sekolah, merokok, minum-minuman keras atau sekedar menggoda lawan jenis.
"Mereka kini seringkali terlibat tawuran layaknya preman, terjerumus dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan kehidupan seksual pranikah," ujarnya.
Menurutnya, globalisasi dengan berbagai atribut dan tawaran gaya hidup serta budaya yang mampu membangkitkan mimpi, fantasi dan pemenuhan emosional untuk menyenangkan diri sendiri adalah daya tarik yang sulit ditepis remaja. Tawaran itu terutama lewat nilai-nilai yang cenderung sekuler dan media massa. Globalisasi memang terbukti mampu menyatukan dunia dan menyebabkan batas-batas administrasi wilayah menjadi kabur.
"Namun di saat yang sama globalisasi ternyata malah melahirkan kesenjangan sosial, polarisasi antar kelas yang makin lebar serta menumbuhkan pengangguran yang makin besar," paparnya.
Wakil Bupati Lamongan Amar Saifudin memiliki pandangan serupa dengan Bagong. Dia tidak memungkiri, bahwa masih rendahnya jiwa dan semangat wawasan kebangsan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Hal itu terbukti masih banyaknya pertikaian antar kampung, perang saudara, tingkah laku suporter bola yang anarki, dan baru-baru ini kekerasan berkedok agama yang melibatkan anak-anak muda.
"Demi terciptanya rasa cinta kepada bangsa, maka kita harus memiliki wawasan dan pijakan yang benar dan tepat agar bisa membela negara dengan benar untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari masalah disintegrasi, separatisme, dan hadirnya kekuatan asing yang mengancam," kata Amar.
Satu hal yang pasti krisis ini dimulai dari para pemimpin dan tokoh negeri ini yang semenjak soeharto berkuasa selalu mempertontonkan secara vulgar kebencian, keserakahan, tak tahu malu, bermuka dua (bahkan lebih) politik dagang sapi, kambing, ayam bahkan tikus secara telanjang menjadi asupan nurani bangsa ini. kaum agama seperti memiliki standar ganda, berkata cinta damai tetapi melakukan atau membiarkan kekerasan kepada minoritas di depan mata. kemiskinan merajalela di depan hidung, politisi sibuk bagi-bagi kue kekuasaan, mempertontonkan kemewahan yang dibiayai uang pajak rakyat, memainkan isu-isu ketidakadilan seperti kasus gayus hanya untuk popularitas. televisi sibuk memutar sinetron dengan tema basi yang tak pernah akan ada di kehidupan nyata, membuai penonton dengan ilusi gaya hidup baru yang entah di tempat asalnya mungkin sudah tak laku. infotaiment berlagak bagai dewa pengadil yang bebas seenak udelnya mengumbar segala sisi manusiawi publik figur dengan dalih kebebasan pers. lalu apa yang mau diharapkan selain produk angkatan muda yang krisis identitas karena tak mampu mencari panutan identitas pada generasi lebih dahulu......?
Source : Kompas Edukasi
No comments:
Post a Comment